Darurat Kejahatan Seksual dan Gelapnya Peran Tokoh Perempuan

Masnia Ahmad Ketua Bidang Kajian dan Advokasi Kohati PB HMI. Foto (Canva, Imron/SNN)

Sudut Opini – Termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 pada alenia ke-4, salah satu tujuan bernegara kita adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Kemudian dijabarkan lagi pada pasal 28 Konstitusi Indonesia tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang di dalamnya termasuk memberikan perlindungan dan rasa aman. Hal tersebut berlaku untuk setiap warga negara, tanpa pengecualian. Sehingga siapapun yang melanggar peraturan di atas, wajib dikenakan sanksi yang objektif, sebagaimana mestinya.

Ditinjau dari berbagai sudut pandang, perempuan merupakan kelompok yang rentan mendapatkan kekerasan, baik dari segi fisik dan non fisik, verbal maupun non verbal. Dalam konteks ini, perempuan sama halnya dengan anak-anak. Oleh karena itu, di negara kita terdapat peraturan yang khusus mengakomodir kepentingan perempuan dan anak. Bahkan di Lembaga eksekutif, Indonesia memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan demikian secara filosofis-yuridis, perempuan adalah bagian terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. 

Read More

Berkaitan dengan istimewahnya kedudukan perempuan, hadir pertanyaan-pertanyaan: apakah perempuan telah mendapatkan perlindungan dan rasa aman sebagaimana cita-cita bangsa ini? Apa tolok ukurnya perlindungan dan rasa aman itu? Bagaimana peran perempuan (mereka yang lebih berdaya) untuk hak-hak perempuan itu sendiri? Sebelum dibahas lebih jauh, jawaban umumnnya adalah kasus kekerasan masih terus muncul menimpa perempuan, antaranya yakni kekerasan seksual.

Di Indonesia dari waktu ke waktu selalu ramai pemberitaan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada bulan Mei 2022 sampai Desember 2023 jumlah kasus kekerasan seksual yang diterima Komnas Perempuan mencapai 4.179 kasus, di mana laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), serta pelecehan seksual langsung dan pemerkosaan. Secara spesifik, kasus KSBE yang masuk ke Komnas Perempuan sebanyak 2.776 kasus, 623 kasus pelecehan seksual langsung, dan sisanya adalah kasus pemerkosaan.

Belakangan ini, sangat viral kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan. Begitu disayangkan, kasus-kasus yang terungkap itu berlangsung di lingkungan bermartabat, sebut saja kampus, rumah sakit, Lembaga Keamanan dan pesantren. Di lingkungan publik, tidak kalah memprihatinkan, misalnya di KRL tak hentinya kita temukan kekerasan seksual dialami perempuan yang berhamburan di media sosial.

Sekarang sedang ramai bersebaran sebuah pamflet yang berjudul “Indonesia Darurat Predator dan Kejahatan Seksual”. Pamflet ini berisikan wajah pelaku kasus-kasus yang masih hangat, yaitu yang dilakukan oleh oknum professor UGM, oknum Kapolres di Ngada, oknum ulama di Ponpes Shidiqiyah Jombang, oknum dokter Unpad, dan segerombolan oknum keluarga di Garut. Wajah-wajah suram itu merupakan representasi dari kondisi perempuan Indonesia saat yang masih jauh dari kata terlindungi dan memiliki rasa aman.

Patut kita syukuri, lewat perjuangan panjang, pemerintah telah mengesahkan UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun karena ini merupakan produk hukum yang baru dibuat, sehingga implementasinya di lapangan belum optimal. Seperti dilansir dari berbagai sumber, hambatan terbesar dalam pelaksanaan UU TPKS adalah belum adanya koordinasi yang baik antara lembaga penegak hukum. Selain itu, pelatihan untuk penguatan kapasitas penegak hukum akan UU TPKS juga masih minim. Dalam pandangan saya, masyarakat umum juga harus diberikan sosialisasi UU TPKS, agar memicu keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan mereka.

Atas tantangan pelaksanaan UU TPKS itu, indikasi berkurangnya kekerasan seksual di negara kita belum tampak, bahkan lebih mengerikan dengan fakta-fakta yang terbongkar. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus mendukung akselerasi dan perbaikan dalam implementasi UU TPKS, karena UU TPKS ini merupakan payung hukum, senjata bersama untuk menumpas kejahatan seksual yang marak terjadi. 

Selanjutnya di negara kita, banyak tokoh Perempuan telah menduduki jabatan strategis di setiap masa pemerintahan. Ada yang bahkan mampu melanggengkan kiprahnya sampai pada level global. Tidak kalah menariknya, saat ini Ketua DPR RI merupakan seorang perempuan (Mbak Puan), kemudian Ketua Komisi X yang mengurusi Bidang Pendidikan juga adalah Srikandi (Kak Hetifah). Selain itu, beberapa nama yang menduduki Kabinet Merah Putih adalah perempuan. Di lain sisi, yang paling memprihatinkan publik, semua pimpinan Komisi VIII DPR RI yakni laki-laki. Padahal Komisi inilah yang menaungi urusan perempuan.

Kembali ke topik figur-figur perempuan yang telah dan sedang menduduki jabatan penting di pemerintahan, atau mempunyai posisi sosial yang memadai. Apa sebenarnya kontribusi yang sudah mereka berikan untuk memperuangkan hak-hak perempuan? Terdapat perempuan yang jabatan publiknya langsung berhubungan dengan lingkungan rentan kekerasan seksual, contohnya Ketua Komisi X, ia diharapkan harus memberikan semacam stimulan untuk mengkondusifkan lingkungan pendidikan dari kekerasan terhadap perempuan; Ketua DPR RI mesti mendorong terus pembentukan regulasi yang ideal bagi perempuan dalam hal kekerasan seksual; Menteri Keuangan (Ibu Sri Mulyani) dan Menteri Pariwisata (Ibu Widiyanti) harus memastikan lingkungan kerja kementerianya bebas dari kekerasan seksual. Itu hanyalah segelintir nama dan jabatan yang diduduki perempuan, masih ada lagi yang lain, mereka dengan power yang tentunya besar. Tokoh-tokoh itulah yang notobenenya perempuan sekaligus seorang ibu, kita tentu merindukan hadirnya suara-suara tambahan yang menjadi angin segar dalam rangka penumpasan kekerasan seksual di Indonesia.

Berbanding terbalik di lapangan, kita temukan bahwa perempuan yang terus-menerus menyuarakan hak-hak Perempuan, di jalan, gedung diplomasi, media, adalah mereka yang berlatar belakang bukan pejabat, ada yang biasa-biasa saja. Mereka adalah aktivis perempuan, penggerak lembaga hukum, jurnalis media, mahasiswa, guru, dosen dan kelompok biasa lainya yang hadir secara sukarela. Sehingga sekali lagi, patut kita tanyakan kontribusi perempuan-perempuan yang adalah tokoh-tokoh besar dalam ranah perjuangan hak-hak Perempuan, khususnya memberantas kekerasan seksual yang menimpa perempuan.

Memperjuangkan hak-hak perempuan, menumpas kekerasan seksual terhadap perempuan memerlukan kesadaran bersama, dan gerakan bersama. Ini merupakan tanggung jawab besar yang wajib kita kobarkan terus, demi semua perempuan, generasi bangsa, dan masa depan Indonesia yang lebih baik.

 

Masnia Ahmad

Ketua Bidang Kajian & Advokasi Kohati PB HMI

 

*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News

Related posts