Kota Malang, sudutnusantaranews.com – Long week end libur Paskah kemarin saya gunakan bersama keluarga pulang ke Malang. Maklum, saat Hari Raya Idul Fitri lalu kami sekeluarga memilih tidak mudik. Dan sebagaimana liburan, menikmati kuliner lokal menjadi salah agenda wajib. Maka beberapa hari sebelum ke Malang, istri saya berburu informasi mengenai lokasi kuliner yang tengah hits melalui media sosial.
Walaupun setiap tahun kami ke Malang, sepertinya ada saja lokasi kuliner atau tempat wisata yang baru. Entah memang benar-benar baru, mengalami pembaharuan atau justru saya yang ketinggalan informasi. Salah satu pilihan kami adalah berkunjung ke Pasar Oro-Oro Dowo di kecamatan Klojen. Hari Sabtu pagi tanggal 19 April lalu saya bertiga dengan anak dan istri memulai petualangan kulineran di pasar tradisonal yang kini nampak modern.
Sependek yang saya tahu dari media massa dan media sosial, Pasar Oro-Oro Dowo banyak diperbincangkan oleh netizen. Gara-garanya Pemerintah Kotamadya Malang berhasil membenahi pasar yang berdiri sejak tahun 1932 ini menjadi pasar yang bersih dan teratur sehingga pembeli pun betah. Saya menyaksikan sendiri banyak pengunjung berpakaian rapi, anak-anak muda dan kalangan atas yang tak lagi ragu ke pasar tradisional, hingga mereka yang mampir seusai berolah raga.
Begitu masuk, kami disambut begitu banyak pilihan kuliner, dari yang tadisional hingga yang berasal dari mancanegara. Pilihan saya langsung tertuju pada penjual kue ote-ote yang tengah sibuk melayani pembeli. Untungnya antrean belum terlalu panjang, setelah memesan dan membayar melalui fasilitas QRIS kami memutuskan berkeliling pasar Oro-Oro Dowo. Oh ya, semua penjual di pasar ini sudah menggunakan QRIS sebagai alat pembayaran. Setiap kios pun dilengkapi informasi nama kios, nama pemilik beserta nomor telepon genggam yang bisa dihubungi.
Kali ini perhatian kami tertuju ke kios penjual kue lumpur. Alamak,… antreannya sungguh panjang. Istri saya yang hendak mengambil nomor antrean sempat ragu-ragu sebab mendapatkan nomor 102, padahal penjualnya baru melayani pembeli nomor 63. Saking ramainya, si pemilik kios membuka satu kios tambahan yang dikhususkan hanya untuk memasak kue lumpur dan melayani pembeli secara daring. Luar biasa ! Dari informasi yang bersliweran di internet dan media sosial, kue lumpur Wolak Walik ini menjadi salah satu item yang wajib dibeli jika kita mengunjungi Pasar Oro-Oro Dowo.
Sambil menunggu kue lumpur pesanan kami matang, perburuan kuliner kami berlanjut. Ada nasi bakar, bakso goreng Bagoplek hingga kue lainnya. Mengingat pagi tadi kami belum ngopi, maka bau kopi yang diseduh menguar dari Toko Kopi Panca menarik indera penciuman saya. Toko kopi, bukan kafe ya. Sebab mereka memang toko yang menyediakan beragam jenis kopi, pembeli bisa membeli kopi masih dalam bentuk bijian maupun sudah berupa bubuk. Ada kopi jenis arabika, liberika dan robusta. Mau kopi asal Gayo, Kintamani, Ijen tersedia. Atau pembeli mau mengoplos kopi sesuai keinginan, pasti dilayani.
Karena bukan kafe, maka bagi mereka yang ingin ngopi di Toko Panca mesti rela berdesakan, bahkan beberapa pembeli memilih duduk di pinggir jalan sambil menikmati kudapan. Kami memilih duduk di dalam sambil berdampingan dengan pemilik toko yang sibuk menggiling kopi. Kondisi toko ini mungkin membuat ada yang ragu jika mesti ngopi di sini, tak heran jika di depan toko sang penjual memasang tulisan bisa dinikmati di sini. Guna meyakinkan pembeli jika bisa ngopi di tempat.
Begitu kami masuk ke toko, sang pengelola toko Ferriadi Winoto menyambut dengan hangat. “Mau ngopi, atau beli kopi apa,” tanya Ferri, panggilan akrabnya, menyapa kami. Giliran kami yang bingung ketika menerima informasi ada kurang lebih 16 jenis kopi di tokonya yang berdiri sejak tahun 1986. Akhirnya istri saya memilih ngopi robusta premium. Saya yang masih bingung akhirnya memilih kopi pilihan istri saya.
Melihat saya yang menjatuhkan pilihan mengikuti istri saya, Ferri berkata…“Ojok milih kopi sing podo Boss, ben iso nyicipi,” artinya jangan memilih kopi yang sama agar bisa saling merasakan kopi yang beda. “Iki lho ono kopi lanang, coba wae*,” imbuhnya tertawa sambil menepuk bahu saya. Saya yang mendengar gurauannya pun ikutan tertawa dan menyetujui advisnya. Pelajaran pertama, penjual yang ramah memikat pembeli.
Tak perlu menunggu lama, kopi pesanan kami pun datang dalam gelas kaleng blirik berwarna hijau. Di meja sudah terdapat tempat gula putih dan gula aren yang bisa diambil sesuai keinginan kita. Sambil menunggu kopi agak dingin, kami menikmati kue yang kami beli tadi. Saya lihat pengunjung silih berganti, toko yang tak terlalu besar itu makin siang makin ramai oleh pembeli.
Ada yang memang datang sengaja untuk membeli kopi. Sepertinya mereka pelanggan lama, sebab nampak sangat akrab dengan Ferri dan sudah punya pilihan kopi apa yang akan dibeli. Sambil melayani pembeli, Ferri menawarkan kopi jenis lainnya kepada pelanggan tadi. “Ayo coba arabika, taste-nya beda lho dengan robusta. Kalau arabika ada rasa buah, ada rasa kecut, nggak kayak robusta yang dominan pahit,” ungkapnya.
Informasi yang diberikan Ferri mendapatkan tambahan dari sang Ibunda, Anita Wijaya. Perempuan paruh baya ini atraktif saat menjawab pertanyaan pelanggan. Pengetahuannya mengenai kopi melimpah, maklum sudah puluhan tahun bergelut dengan kopi. “Ini kopi Gayo dari Aceh, ini jenis kopi Gayo tapi ditanam di Jawa. Rasanya pasti beda. Itulah uniknya kopi,” ungkap Anita Wijaya.
Bahkan penyajian dengan gelas blirik bukan tanpa alasan. Menurut Anita gelas blirik berbahan seng atau enamel jadul itu lebih baik menahan panas daripada gelas kaca atau gelas atau mug dari keramik. Jadi cocok untuk menemani ngobrol ngalor ngidul tanpa takut kopi kita cepat dingin. Pelajaran kedua, literasi kopi bagi pembeli.
Pelajaran literasi kopi ini diperlihatkan oleh Ferri saat melayani pembeli. Ternyata banyak juga pembeli seperti saya, kebingungan saat akan memilih kopi yang ingin dinikmati. “Kamu bilang saja deh, maunya kopi yang bagaimana rasanya, ada rasa buah, cenderung pahit atau bagaimana? Nanti aku yang menerjemahkan,” tawaran Ferri kepada si pembeli. Begitu pembeli menyebutkan kopi yang ingin dinikmati, maka Ferri kemudian menawarkan jenis kopi yang sesuai permintaan pembeli, kadang juga mencampur dua jenis kopi.
Sambil ngopi, kami putuskan membeli kopi bubuk robusta premium. Sebelum menggiling kopi, Ferri bertanya kepada saya. Selama ini ngopinya bagaimana ? Memakai alat tertentu atau lebih sering ngopi tubruk ? Menurut Ferri cara minum kopi akan menentukan caranya menggiling kopi juga. Sebentar menggiling kopi, dimatikannya alat tadi, lantas diberikannya kopi bubuk tadi kepada saya. “Coba dicek, kadar kehalusan kopi bubuknya apa sudah sesuai keinginan,” tanyanya ke saya.
Ferri mengelola toko Panca Kopi bersama sang mama, Anita Wijaya. Tak dapat disangkal, pengalaman mengelola toko kopi puluhan tahun membuat keduanya hafal karakteristik setiap kopi yang dijualnya. Sambil melayani pembeli, Anita tak lupa menyapa pembeli. “Ojo kesusu, dinikmati kopinya. Boleh sambil menikmati kue, di pasar ini banyak kue yang enak. Bisa dibawa ke sini,” kata Anita menjelaskan beberapa kue yang dijual di Pasar Oro-Oro Dowo sambil menunjukkan posisi penjualnya. Saya lihat memang banyak pelanggan Toko Kopi Panca yang ngopi sambil membawa kue hasil perburuan di pasar ini. Pelajaran ketiga, kerja sama antar penjual adalah strategi yang menguntungkan.
Semakin lama saya merasakan ngopi di Toko Kopi Panca makin banyak informasi mengenai kopi yang bisa saya dapatkan. Saya memang hampir setiap pagi ngopi, tapi harus diakui memang kopi yang sering saya minum adalah kopi nggereng, singkatan dari kopi angger ireng alias asal kopi hitam saja. Kebanyakan ya minum kopi saset yang katanya asli tapi kok sebungkus hanya dua ribu hehehehe.
“Setiap orang punya selera kopi masing-masing lho ya, aku ndak bisa omong kopi ini yang enak, atau kopi itu yang enak. Aku pernah dapat pesanan sekian kilo kopi robusta bubuk dari orang Lumajang. Ternyata mau dicampur dengan jagung. Katanya kesukaan orang di desa ya kopi jagung. Komposisi campurannya bisa tiga banding tujuh. Tiga kilogram kopi asli dan tujuh kilogram jagung,” tutur Anita sambil tertawa. Bahasa Indonesia bercampur Jawa dengan dialek khas warga Tionghoa yang dipakainya sangat khas.
Pelajaran keempat, Toko Kopi Panca konsisten dengan ciri khasnya dan selalu menjaga mutu. Ferri dan sang Mama hanya menjual kopi dan menyajikan kopi tubruk saja. Tokonya memang bukan kafe yang menyediakan beragam jenis minuman kopi seperti cappucino, latte, espresso atau yang lainnya. “Aku bukan barista, aku tidak jual kopi kekinian lho ya, pokoknya ya kopi saja, kalau bisa tanpa gula sebab sehat,” ungkap Anita lagi kepada saya.
Namun pelajaran kelima dari Toko Kopi Panca yang saya ingat. Tidak ngoyo cari duit ! Toko ini hanya buka setengah hari saja, sebab tutup jam dua belas siang. Saat kafe-kafe bersaing keras, toko di dalam Pasar Oro-Oro Dowo ini malah menerapkan gaya hidup slow living. “Aku sering diprotes pembeli karena maunya ngopi malam ke sini, tapi aku ndak mau. Aku bilang, lek kesel yo turu Rek**,” kata Anita Wijaya lantang khas Arema disambut derai tawa kami yang tengah ngopi.
Keterangan
*Ini ada kopi lanang (laki-laki) coba saja.
** Kalau capek ya tidur Rek.