Sudut Opini – Bayangkan sejenak, bagaimana wajah umat Islam hari ini di mata dunia? Apakah kita tampil sebagai umat yang kuat, solid, dan memberi manfaat? Atau justru sibuk dengan perdebatan internal yang tak kunjung usai, hingga lupa bahwa dunia sedang terus berlari? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya retoris, tapi seharusnya menjadi bahan refleksi serius bagi kita semua, terutama generasi muda Muslim yang memiliki peran besar dalam membentuk masa depan keumatan.
Keumatan bukan sekadar soal jumlah. Kita sering bangga dengan data statistik: populasi Muslim terbanyak, jamaah masjid melimpah, acara keagamaan padat merayap di kalender. Tapi jika kita mau membongkar lebih dalam dan jujur pada diri sendiri, apakah semua itu mencerminkan kualitas umat yang benar-benar kuat dan berdaya? Ataukah hanya ilusi kejayaan yang dibangun dari simbol-simbol yang kosong makna? Inilah titik awal keprihatinan yang seharusnya menggerakkan kita.
Menjadi umat hebat tidak cukup hanya dengan ramai. Umat yang hebat tidak jatuh begitu saja dari langit seperti mukjizat yang turun tanpa usaha. Ia dibangun oleh proses panjang, oleh generasi yang tidak puas hanya menjadi penonton sejarah, tetapi ikut ambil bagian di dalamnya. Umat hebat tidak lahir dari generasi yang mudah menyerah, tetapi dari mereka yang tahan banting, berpikir tajam, dan mampu bersatu di tengah perbedaan.
Jalan Panjang Membangun Keumatan
Keumatan yang kuat harus punya fondasi yang kokoh. Dalam Islam, itu bisa dirumuskan secara sederhana namun dalam makna: akidah yang lurus, akhlak yang mulia, dan amal yang nyata. Tiga aspek ini tidak bisa dipisahkan. Akidah tanpa akhlak bisa melahirkan fanatisme buta dan kekerasan. Akhlak tanpa amal hanya menjadikan Islam sebagai agama personal yang tidak berdampak sosial. Sementara amal tanpa dasar akidah dan akhlak bisa berubah menjadi pencitraan, kepalsuan, atau bahkan alat manipulasi publik.
Masalah utama kita hari ini adalah bagaimana menyatukan ketiganya dalam kehidupan nyata. Membangun umat seperti ini jelas butuh waktu, kesabaran, dan komitmen kolektif. Umat yang maju tidak bisa dibentuk hanya lewat ceramah viral di media sosial atau kutipan motivasi singkat. Ia menuntut pendidikan yang konsisten sejak dini, komunitas yang suportif dan kritis, serta peran aktif dari berbagai lini kehidupan—baik keluarga, lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, maupun dunia digital yang kini menjadi ruang dakwah baru.
Lebih dari itu, keumatan yang sehat juga menuntut kita untuk melek realita. Jangan cepat puas dengan pencapaian simbolik. Kita perlu berani menengok data dan fakta: seberapa besar kontribusi umat dalam bidang riset dan sains? Seberapa tinggi literasi ekonomi dan teknologi di kalangan Muslim? Jika umat Islam banyak, tetapi tetap kalah di sektor ekonomi, literasi rendah, dan mudah terprovokasi hoaks, maka itu adalah indikator jelas bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.
Saatnya Berhenti Sibuk Sendiri
Salah satu tantangan besar keumatan hari ini adalah fragmentasi internal yang mengakar. Kita sering terjebak dalam fanatisme golongan, mazhab, bahkan hal-hal teknis seperti gaya berpakaian atau redaksi doa. Sibuk saling menuduh siapa yang paling lurus, paling syar’i, paling murni ajarannya. Padahal, persoalan umat jauh lebih kompleks dan menuntut kolaborasi lintas kelompok, bukan malah memperlebar jurang pemisah.
Perbedaan dalam metode dakwah, madzhab, atau penafsiran fikih seharusnya tidak menjadi alasan untuk saling menjatuhkan. Justru keragaman itu bisa menjadi kekuatan, jika dikelola dengan hikmah dan kelapangan dada. Karena realitanya, umat Islam ini terlalu besar untuk diseragamkan, tapi juga terlalu penting untuk dibiarkan tercerai-berai. Dalam konteks ini, kita butuh semangat tawazun (keseimbangan), bukan sikap ekstrem dan eksklusif.
Dari Umat Menjadi Gerakan
Umat yang kuat adalah umat yang bergerak. Dan gerakan di sini tidak selalu berarti turun ke jalan atau membuat aksi panggung. Gerakan yang dimaksud adalah yang menyentuh akar: pemberdayaan ekonomi umat, penguatan pendidikan, penguasaan teknologi, serta partisipasi aktif di ranah sosial dan politik.
Kita harus mulai mendorong terbentuknya generasi Muslim yang tidak hanya religius secara ritual, tetapi juga produktif secara sosial. Generasi yang tidak takut bersaing, tidak alergi pada kritik, dan punya keinginan untuk menciptakan perubahan nyata. Karena sesungguhnya, keumatan yang kuat tidak akan tercapai jika umat Islam hanya pasif, menunggu perubahan dari luar, atau bahkan tenggelam dalam nostalgia kejayaan masa lampau yang tidak pernah dihidupkan kembali.
Maka dari itu, penting untuk memulai dari hal-hal yang bisa kita kontrol. Mulailah dari keluarga, dari lingkungan kampus atau tempat kerja, dari komunitas kecil yang kita bangun. Jangan pernah meremehkan dampak perubahan skala mikro. Sejarah Islam tidak dibangun dari panggung besar semata, tetapi dari rumah-rumah kecil yang dipenuhi semangat, dari lingkaran-lingkaran ilmu yang jujur, dan dari kerja-kerja sosial yang konsisten.
Kuat Karena Bersama, Maju Karena Bergerak
Penutup dari tulisan ini bukanlah kesimpulan akhir, tetapi ajakan terbuka. Jangan pernah berharap keumatan kita akan hebat kalau kita sendiri tidak mau terlibat. Umat yang kuat tidak mungkin lahir dari budaya saling menyalahkan, saling menghujat, atau nyaman dalam zona stagnan. Ia harus dibentuk oleh generasi yang peduli, berpikir kritis, dan mau bergerak bersama.
Maka mari kita mulai dari hal-hal sederhana namun signifikan: belajar lebih dalam, berdiskusi lebih terbuka, dan berbuat lebih nyata. Ajak rekan untuk membaca buku, berdialog sehat, dan memperluas jejaring lintas komunitas. Perkuat kolaborasi, hilangkan arogansi sektarian, dan tanamkan kembali semangat ukhuwah Islamiyah yang telah lama jadi kekuatan umat.
Karena pada akhirnya, keumatan yang maju adalah cerminan dari individu-individu yang tumbuh, sadar, dan tidak lelah mencintai umatnya sendiri. Umat hebat bukan mitos, tetapi keniscayaan—asal kita benar-benar mau mewujudkannya.
Akmal Ibnu Faqih Kader HMI Komisariat Karnoto Zarkasy Cabang Salatiga
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh redaksi Sudut Nusantara News (SNN)