Ekowisata Sebagai Strategi Pembangunan Berkelanjutan di Banyuwangi

Robaitulloh Salim, MS., S.Sos., M.Si Staf Ahli DPR RI dan Wakil Sekretaris PC GP Ansor Banyuwangi (Dok. Istimewa)

Sudut Opini – Banyuwangi dalam sepuluh tahun terakhir berhasil mengangkat dirinya dari “daerah singgahan” menjadi destinasi wisata unggulan di Indonesia. Kawah Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, hingga Pulau Merah kini ramai diperbincangkan wisatawan mancanegara. Branding “Sunrise of Java” yang digagas pemerintah daerah sukses menarik jutaan wisatawan. Namun, di balik prestasi itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah geliat wisata ini benar-benar berkelanjutan, atau justru mengancam kelestarian alam dan budaya Banyuwangi?

Data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi (2023) menunjukkan jumlah wisatawan sempat menyentuh lebih dari 5 juta kunjungan per tahun sebelum pandemi. Kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah bahkan mencapai 20%. Angka ini jelas menggembirakan, karena sektor pariwisata terbukti mampu menggerakkan ekonomi masyarakat, mulai dari perhotelan, transportasi, kuliner, hingga kerajinan.

Read More

Tetapi, ada konsekuensi yang harus ditanggung. Di Kawah Ijen, peningkatan kunjungan menyebabkan penumpukan sampah plastik dan menurunnya kualitas udara di sekitar kawah. Di Pulau Merah, abrasi pantai semakin parah karena pembangunan wisata yang tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Ironis, ketika alam yang menjadi daya tarik justru terancam oleh eksploitasi wisata.

Di sinilah konsep ekowisata menjadi relevan. Ekowisata, menurut The International Ecotourism Society (TIES, 2015), adalah perjalanan bertanggung jawab ke area alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat lokal, dan sekaligus memberi pendidikan bagi wisatawan.

Salah satu contoh implementasi ekowisata dapat dilihat di Taman Nasional Alas Purwo. Kawasan hutan tropis ini bukan hanya menyajikan pesona satwa liar seperti banteng jawa dan merak hijau, tetapi juga kearifan lokal masyarakat Osing. Pemerintah bersama komunitas lokal mengembangkan wisata trekking, pengamatan burung, hingga camping berbasis konservasi. Wisatawan diajak mengenal ritual adat seperti “Ngaben Segara” yang menjadi bagian dari identitas budaya setempat.

Hasilnya, masyarakat lokal tidak lagi sekadar penonton, melainkan pelaku utama. Mereka menjadi pemandu, pengelola homestay, hingga pengrajin cendera mata. Inilah bukti bahwa wisata tidak hanya bisa mendatangkan keuntungan ekonomi, tetapi juga memperkuat posisi masyarakat sebagai penjaga budaya dan lingkungan.

Pandangan akademisi memperkuat urgensi ini. Robaitulloh Salim, M.S, menekankan bahwa ekowisata adalah “jembatan antara kepentingan ekonomi dan ekologi”. Menurutnya, ada tiga pilar yang harus dijaga secara seimbang: ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi. Tanpa keberpihakan pada ekologi, Banyuwangi hanya akan mengejar angka kunjungan tanpa menyisakan alam untuk generasi berikutnya. Tanpa melibatkan masyarakat, wisata hanya akan melahirkan kesenjangan. Dan tanpa distribusi ekonomi yang adil, sektor wisata hanya akan menguntungkan investor besar, bukan warga lokal.

Robaitulloh juga menekankan pentingnya pendidikan ekowisata. Wisatawan, katanya, tidak cukup hanya menikmati panorama Kawah Ijen atau keheningan Alas Purwo, melainkan juga harus belajar menghargai nilai konservasi. Wisata yang mengedepankan edukasi akan meninggalkan kesadaran baru, bukan sekadar foto indah di media sosial.

Sayangnya, praktik di lapangan masih sering berbenturan dengan idealisme itu. Masih ada wisatawan yang membuang sampah sembarangan, pembangunan resort di kawasan sensitif, atau pemerintah daerah yang terlalu sibuk mengejar target angka kunjungan. Jika hal ini terus dibiarkan, label “Sunrise of Java” bisa berubah menjadi “sunset of conservation”.

Maka, ada beberapa langkah strategis yang patut dipertimbangkan. Pertama, pemerintah daerah perlu menetapkan batas kunjungan di lokasi yang rentan, seperti Kawah Ijen, demi menjaga daya dukung lingkungan. Kedua, pendidikan ekowisata harus diperluas, mulai dari sekolah hingga komunitas, sehingga masyarakat Banyuwangi sendiri merasa memiliki dan menjaga aset wisata mereka. Ketiga, perlu ada kolaborasi multipihak antara pemerintah, akademisi, komunitas lokal, dan swasta untuk membangun model bisnis pariwisata yang adil sekaligus berkelanjutan.

Ekowisata bukan hanya konsep indah di atas kertas. Ia adalah kebutuhan nyata agar Banyuwangi tidak terjebak dalam jebakan pariwisata massal. Jika dikelola dengan bijak, ekowisata bisa menjadi strategi pembangunan berkelanjutan, di mana alam tetap lestari, budaya tetap hidup, dan masyarakat tetap sejahtera.

Pertanyaan akhirnya sederhana: apakah Banyuwangi ingin dikenang sebagai daerah yang kaya wisata namun miskin kelestarian, atau sebagai pionir ekowisata yang menginspirasi Indonesia? Jawabannya tentu ada di tangan semua pihak yang hari ini sedang menata masa depan Banyuwangi.

 

 

Robaitulloh Salim, MS., S.Sos., M.Si Staf Ahli DPR RI dan Wakil Sekretaris PC GP Ansor Banyuwangi

 

*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh redaksi Sudut Nusantara News (SNN)

Related posts