DPP Holistik Kritik Keras Wacana Revisi Tatib DPR Terkait Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri

M. Nur Latuconsina Ketua Umum DPP Holistik Institute (Istimewa)

Jakarta, Sudutnusantaranews.com — Dewan Pimpinan Pusat Holistik Institute menyoroti tajam rencana revisi tata tertib DPR RI yang memberi kewenangan lebih besar dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Melalui Ketua Umum DPP HOLISTIK INSTITUTE M. Nur Latuconsina, menilai kebijakan tersebut sebagai langkah yang keliru dan berpotensi melanggar prinsip ketatanegaraan yang telah diatur dalam undang-undang.

Menurut Nur Latuconsina, Polri merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan adanya revisi tata tertib yang memberi DPR kewenangan lebih besar dalam proses pergantian Kapolri, ia menilai bahwa DPR berusaha mengambil alih peran eksekutif, yang bertentangan dengan sistem pemerintahan presidensial.

Read More

“Jika DPR ingin mengubah mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, maka jalurnya bukan melalui tata tertib internal DPR, melainkan harus dengan revisi undang-undang yang relevan. Jangan sampai perubahan ini justru menabrak konstitusi dan merusak tatanan demokrasi kita,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa tata tertib DPR RI bukanlah regulasi yang memiliki kekuatan hukum setara dengan undang-undang. Oleh karena itu, jika ada perubahan mekanisme dalam sistem ketatanegaraan, harus dilakukan dengan dasar hukum yang kuat dan melibatkan kajian akademik serta partisipasi publik yang luas.

Lebih lanjut, Latuconsina mempertanyakan motif di balik revisi tersebut. M Nur Latuconsina menilai bahwa perubahan ini bisa membuka ruang intervensi politik yang lebih besar terhadap institusi kepolisian. Jika DPR terlalu dominan dalam menentukan Kapolri, dikhawatirkan lembaga kepolisian akan kehilangan independensinya dan justru menjadi alat politik kelompok tertentu.

“Kita tidak ingin Polri menjadi subordinat kepentingan politik DPR atau partai politik tertentu. Institusi kepolisian harus tetap profesional dan berada di atas kepentingan politik praktis. Jangan sampai ada upaya sistematis untuk memperlemah independensi Polri demi kepentingan segelintir elite,” lanjutnya.

Selain itu, DPP HOLISTIK menegaskan bahwa tugas utama DPR adalah melakukan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, bukan mencampuri urusan eksekutif secara berlebihan. Jika DPR ingin memperkuat pengawasan terhadap Polri, maka yang harus diperbaiki adalah mekanisme kontrol dan akuntabilitas, bukan justru merebut kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Latuconsina juga meminta Presiden dan masyarakat sipil untuk ikut mengawal wacana ini agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Menurutnya, revisi tata tertib DPR yang tidak sesuai dengan konstitusi bisa menjadi preseden buruk dalam praktik demokrasi di Indonesia.

“Jangan sampai kita membiarkan DPR mengutak-atik aturan seenaknya tanpa memperhatikan aspek konstitusional. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin di masa depan kewenangan DPR akan semakin meluas ke sektor-sektor lain yang sebenarnya berada di ranah eksekutif,” tambahnya.

Sebagai organisasi Kemasyarakatan yang peduli terhadap penegakan hukum dan demokrasi, Holistik menegaskan akan terus mengawal isu ini agar tidak terjadi penyimpangan dalam sistem ketatanegaraan. Mereka juga mendorong agar DPR lebih fokus pada agenda yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat, bukan justru mengutak-atik aturan demi kepentingan politik tertentu.

DPP HOLISTIK berharap agar DPR tidak gegabah dalam membuat kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan dalam sistem pemerintahan. Revisi tata tertib seharusnya dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan berorientasi pada kepentingan bangsa, bukan demi kepentingan politik jangka pendek. Tutupnya.

Related posts