Bekasi, sudutnusantaranews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat perlambatan signifikan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut pada Triwulan I-2025. Secara quarter-to-quarter (q-to-q), pertumbuhan hanya 0,28%, turun drastis dari kisaran 1-2% di Triwulan IV-2024. Meski tumbuh 4,98% year-on-year (y-on-y)—di atas rata-rata nasional (4,87%).
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Kaum Muda Syarikat Islam (KMSI), Adhyp Glank yang menyoroti dan menilai hal ini mencerminkan kegagalan struktural pembangunan ekonomi Jabar.
Laporan BPS menyebut pertumbuhan ekonomi Jabar “hampir stagnan”, didorong ketergantungan berlebihan pada sektor tradisional seperti pertanian dan perdagangan yang rentan fluktuasi. Konsumsi rumah tangga juga melemah akibat inflasi dan penurunan daya beli, sementara investasi (PMTB) belum optimal mendorong industrialisasi.
“Pertumbuhan 4,98% ini gagal memenuhi target RPJMD Jabar (5,5-6%). Ini pertumbuhan tanpa kualitas karena tidak diikuti penciptaan lapangan kerja yang memadai,” katanya dalam keterangan resminya. Kamis, 15 Mei 2025.
Lebih lanjut, sektor ketenagakerjaan pun menghadapi masalah serius. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) naik 20 ribu orang meski Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 68,91%. Dirinya mempertanyakan klaim penyerapan tenaga kerja di sektor perdagangan.
“Mayoritas pekerjaan yang tersedia bersifat informal, seperti perdagangan mikro, yang rentan krisis daya beli. Ini bukti pertumbuhan Jabar tidak inklusif,” tegasnya.
KMSI mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar melakukan transformasi struktural dengan beralih dari sektor tradisional ke industri manufaktur berbasis teknologi.
Namun, Adhyp menilai program Pemprov masih fokus pada proyek jangka pendek dan “euforia budaya” yang tidak jelas. “Bagaimana investasi produktif bisa kuat jika program Gubernur tidak prioritas dan cuma sawer-menyawer proyek seremonial?,” sambungnya.
Ia juga menyoroti pemangkasan alokasi anggaran (bankeu) ke daerah, seperti di Purwakarta, yang justru mengorbankan program prioritas. “Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) jadi korban. Ini bukti kebijakan tidak transparan,” tegasnya.
Kemudian, KMSI merekomendasikan Pemprov menyediakan pelatihan vokasi dan program padat karya untuk meningkatkan keterampilan generasi muda. “Generasi muda bukan megalitikum yang hanya bisa kerja di pabrik. Beri mereka soft skill dan dukung kreativitas berwirausaha,” ujar Adhyp.
Ia juga mendesak Gubernur memperbaiki koordinasi lintas dinas dan mengkaji ulang kebijakan anggaran. “Masyarakat butuh bukti, bukan sensasi. Jika tidak mampu, lebih baik kibarkan bendera putih dan serahkan ke pemerintah pusat,” tandasnya.
Selain itu, BPS mengonfirmasi ekonomi Jabar berisiko stagnasi tanpa perubahan kebijakan mendasar. “Pertumbuhan rendah dan ketimpangan tinggi akan makin parah jika tidak ada transformasi struktural. Pemprov harus melihat realitas, bukan hanya angka makro,” terangnya.
Di tengah sorotan data BPS dan kritik keras KMSI, tuntutan untuk pembenahan kebijakan ekonomi Jabar semakin mendesak. Tanpa langkah konkret, janji pemerataan dan kesejahteraan bagi masyarakat Jawa Barat mungkin hanya akan menjadi wacana. (Anas/SNN)