Bondowoso, sudutnusantaranews.com – Konflik agraria yang terjadi di kawasan Ijen, Bondowoso, mencerminkan persoalan struktural dalam tata kelola pertanahan di Indonesia. Sengketa antara masyarakat, petani lokal, dan pihak pemegang konsesi lahan (baik perusahaan maupun negara) bukan hal baru, namun intensitas kekerasan dalam konflik tersebut menunjukkan adanya eskalasi yang tidak ditangani secara tepat oleh pemangku kebijakan. Di tengah kondisi ini, lemahnya peran pemerintah daerah, khususnya Bupati Bondowoso, memperparah situasi sosial dan keamanan masyarakat di sekitar wilayah konflik. (22/5/2025).
Bupati sebagai kepala daerah memiliki peran sentral dalam menyelesaikan konflik agraria sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan kewenangan dan tanggung jawab kepala daerah dalam mengelola sumber daya dan menjaga ketertiban umum di wilayahnya. Ketidakhadiran Bupati Bondowoso dalam merespons cepat persoalan ini merupakan bentuk kelalaian administratif dan moral, yang berdampak langsung pada memburuknya kondisi sosial masyarakat di kaligedang ijen bondowoso. Ujarnya ikrom.
Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengedepankan mediasi, dialog, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat menyebabkan konflik meruncing hingga terjadinya pembakaran fasilitas dan penyanderaan. Hal ini merupakan manifestasi dari frustrasi kolektif masyarakat yang merasa tidak diakui dan tidak didengarkan oleh pemangku kekuasaan. Ketika negara absen, kekerasan menjadi satu-satunya saluran ekspresi yang digunakan oleh kelompok yang terpinggirkan. Tambahnya.
Dalam konteks hukum nasional, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2023 tentang Reforma Agraria secara jelas menempatkan kepala daerah sebagai bagian dari Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), yang bertugas menyelesaikan konflik agraria melalui pendekatan multisektor dan partisipatif. Namun, pelaksanaan Perpres ini di Bondowoso belum berjalan maksimal. Bupati tidak menunjukkan inisiatif konkret untuk mendorong kerja-kerja GTRA dalam menyelesaikan persoalan struktural agraria di wilayahnya.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bondowoso mengecam keras sikap pasif Bupati dalam menghadapi persoalan ini. Sebagai organisasi mahasiswa yang memiliki tanggung jawab moral terhadap keadilan sosial, HMI memandang bahwa pembiaran terhadap konflik agraria tanpa penyelesaian nyata merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tegasnya ikrom ketua umum HMI Cabang Bondowoso.
Kecaman ini bukan hanya bentuk kritik, melainkan juga panggilan untuk bertindak. HMI menuntut Bupati Bondowoso untuk segera turun tangan dan membuka ruang dialog inklusif dengan masyarakat, organisasi sipil, serta pihak terkait lainnya guna menyelesaikan konflik agraria secara adil dan berkelanjutan. Pembentukan tim investigasi independen yang melibatkan unsur akademisi dan masyarakat sipil perlu segera dilakukan.
Selain itu, HMI juga mendesak pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri, untuk mengevaluasi kinerja Bupati Bondowoso dan memberikan sanksi administratif apabila terbukti lalai dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Keterlibatan Komnas HAM juga penting untuk mengawasi potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus ini, termasuk penggunaan kekerasan oleh aparat atau pihak lain yang berkonflik.
Konflik agraria di Ijen adalah peringatan keras bahwa masalah ketimpangan penguasaan lahan dan lemahnya tata kelola agraria akan terus menjadi bom waktu apabila tidak diselesaikan dengan pendekatan yang adil, partisipatif, dan berbasis hukum. Peran aktif pemerintah daerah menjadi kunci dalam mencegah tragedi kemanusiaan yang lebih luas. Oleh karena itu, ketidakhadiran kepala daerah dalam persoalan ini bukan sekadar kelemahan administratif, melainkan kegagalan moral dan politik yang harus segera diperbaiki oleh bupati bondowoso. Tutupnya. (Ahmad/SNN)