Jakarta, sudutnusantaranews.com — Ada suara yang tak terdengar tapi membekas: suara dari orang-orang yang kehilangan harta, keluarga, bahkan dirinya sendiri karena jebakan yang disebut “judi online.” Sabtu siang (12/7/2025), di antara keramaian Kota Tua, beberapa anak muda memilih tidak berteriak. Mereka hanya bertanya:
“Apa satu kata Anda untuk judi online?”
Tanya sederhana itu justru mengetuk sunyi yang selama ini tak digubris. Dari balik wajah-wajah pengunjung, keluarlah jawaban: “rugi”, “menyesal”, “hancur”, “candu”, “ilusi.”
Bagi Sudut Bersuara, komunitas aktivis muda yang menginisiasi kegiatan ini, aksi semacam ini bukan sekadar kampanye. Ia adalah cara melawan penyakit sosial yang tumbuh dari pembiaran kolektif: normalisasi kerusakan yang dibungkus kemewahan dan algoritma.
Albert Kevin, penggagas gerakan, menyebutkan bahwa kehadiran mereka bukan untuk menciptakan kegaduhan, tetapi untuk mengingatkan bangsa ini agar tidak kehilangan rasa malu dan rasa takut pada kerusakan moral.
“Judi online adalah ilusi yang menjanjikan kekayaan, padahal menawarkan kehancuran. Ia tumbuh subur karena kita membiarkannya. Maka yang kami lakukan ini bukan sekadar membagikan stiker—kami sedang membagikan ingatan,” ujar Albert.
Stiker yang dibagikan hari itu bertuliskan:
“Judi Online = Ilusi, Bukan Solusi.”
“Join the Movement: Sudut Bersuara.”
Stiker itu kecil, tapi dalam tradisi gerakan sipil, simbol kecil seringkali menjadi pemicu perubahan besar. Seperti kata Nurcholish Madjid, “kebudayaan harus disemai lewat kesadaran, bukan lewat paksaan.” Maka kesadaran itu yang coba ditebar Sudut Bersuara, di trotoar-trotoar yang selama ini dianggap sunyi oleh negara.
Mereka tidak menawarkan solusi final. Yang mereka tawarkan adalah ruang berpikir, ruang bersuara. Lewat konten video “Satu Kata untuk Judi Online”, mereka mendokumentasikan ekspresi publik sebagai bukti bahwa rakyat tidak diam. Dan bahwa masalah ini nyata.
“Negara bisa memblokir situs, tapi tidak bisa memblokir ingatan. Dan kami sedang menulis ingatan publik melalui suara-suara ini,” kata Albert.
Gerakan ini akan berlanjut di kampus-kampus dan ruang-ruang diskusi yang lebih luas. Mereka tidak datang dengan dana besar atau dukungan institusi kuat. Tapi mereka datang dengan satu hal yang mulai langka: kemauan untuk menyuarakan kebenaran, meski perlahan.
Dan dalam keheningan stiker itu, ada suara yang sebenarnya ingin kita semua dengar: bahwa diam adalah bentuk pengkhianatan paling halus terhadap masa depan bangsa. (Hadi/SNN)