Sudut Opini – Keputusan Presiden memberikan abolisi kepada Tom Lembong, yang kemudian mendapat persetujuan DPR RI, mengundang sorotan publik luas. Kebijakan ini menyentuh ruang paling sensitif dalam tata kelola negara: pertemuan antara hukum dan kemanusiaan.
Abolisi bukan instrumen baru dalam sistem hukum Indonesia. Konstitusi, melalui Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, memberi Presiden kewenangan memberi amnesti dan abolisi dengan persetujuan DPR. Ini menandakan keputusan tersebut memiliki dasar yang jelas dan prosedur yang sahih.
Namun, setiap penggunaan hak konstitusional itu selalu memantik perdebatan. Pertanyaannya sederhana: apakah penghapusan proses hukum ini mencerminkan keadilan substantif, atau justru melemahkan integritas hukum?
Pemerintah berargumen, kasus Tom Lembong memiliki konteks yang unik. Ada dimensi sosial-politik dan persoalan struktural yang dinilai tidak layak diproses dengan mekanisme hukum pidana biasa.
DPR RI, setelah melalui pembahasan, akhirnya menyetujui usulan Presiden. Konsensus politik ini menjadi sinyal bahwa ada pandangan bersama: penyelesaian kasus Tom lebih tepat ditempuh melalui jalur abolisi daripada melanjutkan proses peradilan.
Kritik terhadap keputusan ini datang dari kelompok masyarakat sipil. Mereka khawatir langkah ini menjadi preseden yang membuka celah penyalahgunaan kewenangan.
Di sisi lain, pendukung keputusan ini melihatnya sebagai bentuk koreksi terhadap sistem hukum yang dianggap kerap pincang dan sarat ketidakadilan.
Instrumen abolisi, dalam praktiknya, memang dimaksudkan sebagai jalan luar biasa (extraordinary measure). Negara menggunakan pintu darurat ini hanya dalam kondisi tertentu yang dipandang mendesak dan relevan bagi kepentingan umum.
Dalam literatur hukum progresif, hukum tidak boleh kehilangan sisi kemanusiaannya. Satjipto Rahardjo bahkan menegaskan hukum harus “mengabdi kepada manusia”, bukan sebaliknya.
Kasus ini menegaskan kembali relevansi pandangan tersebut: apakah keadilan harus diukur semata-mata dari kepastian hukum, ataukah ia harus memberi ruang bagi nilai kemanusiaan?
Keputusan Presiden dan persetujuan DPR juga menunjukkan bahwa proses politik dalam negara demokratis masih bekerja. Tidak ada keputusan sepihak, semua melalui mekanisme check and balance.
Namun, agar kebijakan ini tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik, pemerintah perlu menjelaskan alasan abolisi secara transparan dan meyakinkan.
Publik berhak mengetahui, apa pertimbangan mendasar yang membuat kasus ini layak dikecualikan? Mengapa abolisi, bukan jalur hukum biasa?
Kejelasan alasan ini penting untuk menjaga legitimasi keputusan sekaligus menegaskan bahwa langkah ini bukan bentuk impunitas.
Abolisi terhadap Tom Lembong juga menjadi refleksi bagi sistem hukum kita. Jika pintu darurat ini sering digunakan, berarti ada persoalan mendasar dalam mekanisme peradilan yang harus segera dibenahi.
Kritik dan apresiasi terhadap kebijakan ini sama-sama sahih. Demokrasi memberi ruang untuk keduanya, dan negara wajib mendengar.
Di satu sisi, kita tidak boleh menutup mata terhadap risiko penyalahgunaan kekuasaan. Di sisi lain, kita juga perlu mengakui bahwa hukum yang terlalu kaku bisa gagal menjawab tuntutan keadilan yang hidup di masyarakat.
Inilah dilema klasik antara kepastian hukum dan keadilan substantif, yang pada akhirnya harus dipecahkan melalui kebijakan publik yang hati-hati dan bertanggung jawab.
Tugas kita, sebagai masyarakat, bukan hanya mengomentari, tetapi juga mengawal agar kebijakan seperti ini benar-benar menjadi pengecualian, bukan kebiasaan.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar publik tidak kehilangan kepercayaan.
Jika dikelola dengan baik, keputusan ini bisa menjadi momentum positif bagi pembaruan hukum.
Namun, jika dibiarkan tanpa pengawasan, ia berpotensi menjadi noda baru dalam perjalanan keadilan di Indonesia.
Oleh karena itu, langkah evaluasi menyeluruh terhadap sistem hukum menjadi kebutuhan mendesak.
Abolisi untuk Tom Lembong adalah ujian bagi negara, apakah ia benar-benar mengutamakan kemanusiaan tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum.
Sejarah akan menilai. Untuk saat ini, publik berhak untuk mengawasi, bertanya, dan memastikan: apakah keputusan ini memang untuk kepentingan bangsa, atau sekadar kepentingan segelintir pihak?
M. Nur Latuconsina. SH. MH. Managing Partner PELELALA Attorney At Law.
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh redaksi Sudut Nusantara News (SNN)