Sudut Opini – Kota Ambon kembali dilanda banjir pada Senin, 2 Juni 2025. Hujan lebat mengguyur sejak sore hari dan mengakibatkan genangan di berbagai titik, termasuk kawasan strategis seperti Jalan A.Y. Patty. Air yang meluap dari selokan dengan mudah membanjiri jalan-jalan utama, melumpuhkan aktivitas kota dalam sekejap.
Ironisnya, ini bukan kali pertama. Banjir seperti ini terjadi berulang tahun demi tahun, seolah menjadi tradisi saat musim hujan tiba. Maka, saya tak bisa tidak bertanya: Apakah ini sekadar bencana alam yang tak bisa dihindari, atau justru cerminan dari gagalnya tata kelola kota?
Menurut saya, banjir ini lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia—lebih tepatnya, kelalaian pemerintah dalam membangun sistem tata kota yang memadai. Drainase yang buruk, perencanaan kota yang minim visi jangka panjang, serta lambannya respon terhadap masalah banjir menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar teknis, melainkan struktural.
Kita tentu tidak bisa menutup mata terhadap perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan ekstrem semakin sering terjadi. Namun menjadikan faktor alam sebagai kambing hitam utama justru melemahkan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam mengelola ruang hidup. Kita harus menyadari bahwa dampak alam hanya menjadi bencana ketika tidak ada kesiapan manusia untuk menghadapinya.
Pemerintah Kota Ambon seharusnya sejak lama sadar bahwa wilayah ini rentan banjir. Mengapa sistem drainase belum juga diperbaiki? Mengapa wilayah pusat kota tetap menjadi langganan genangan air? Bukankah setiap tahun kita mengalami hal yang sama? Bukankah ini seharusnya menjadi prioritas utama dalam rencana pembangunan kota?
Namun, tanggung jawab ini tak hanya milik pemerintah. Kita sebagai warga kota juga memiliki kontribusi terhadap persoalan ini. Sampah yang dibuang sembarangan, pembangunan liar yang mengabaikan lingkungan, hingga sikap apatis terhadap ruang publik—semua itu memperparah keadaan. Kesadaran kolektif masyarakat menjadi elemen penting dalam mengurangi dampak banjir.
Banjir di Ambon bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan kegagalan kolektif. Tapi tanggung jawab terbesar tetap ada pada mereka yang punya kuasa menata kota—pemerintah. Jika tidak ada perubahan dalam kebijakan dan tindakan nyata, maka kita hanya menunggu waktu sampai bencana serupa datang lagi, dan lagi.
Sudah waktunya pemerintah Kota Ambon membuka mata, telinga, dan hati. Banjir ini adalah peringatan keras. Jika kota tak ditata, maka kita akan terus ditata oleh bencana. Jangan sampai kota ini menjadi tempat yang selalu basah oleh air, namun kering oleh perhatian.
Ryan Suneth Sekretaris Umum HMI Cabang Ambon Komisariat Ekonomi Unidar
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News (SNN)