Sudut Opini – Bencana banjir yang berulang di Kabupaten Sumenep seharusnya tidak lagi dipandang sebagai peristiwa alam semata. Namun, hal itu adalah refleksi dari krisis tata kelola lingkungan yang akut hasil dari akumulasi kebijakan yang tidak berpihak pada prinsip keberlanjutan. Musibah ini seolah menjadi pengingat bagi kita bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan ketidakseimbangan yang telah lama diabaikan.

Banjir yang melanda sejumlah kawasan tidak hanya merendam wilayah permukiman, akan tetapi juga mengguncang kesadaran publik akan pentingnya perencanaan ruang dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. 

Minimnya daerah tangkapan air akibat alih fungsi lahan yang masif telah menghilangkan kemampuan alamiah tanah untuk menyerap dan menyalurkan air hujan secara wajar. Hutan, sempadan sungai, dan kawasan karst yang dahulu menjadi penjaga sistem hidrologi saat ini semakin tergerus oleh berbagai bentuk eksploitasi dan pembangunan yang tidak adaptif terhadap krisis iklim.

Dampak dari kerusakan ekologis ini terasa nyata, salah satunya di sekitar Daerah Kota Kabupaten Sumenep tepatnya di daerah nambakor hingga pintu gerbang selamat datang dan di beberapa titik yang ada di pusat kota telah di genang oleh banjir beberapa hari lalu tentu menyebabkan lumpuhnya akses jalan utama.

Fenomena ini tidak hanya mengindikasikan bencana alam yang terjadi secara tidak sengaja, tetapi juga menunjukkan melemahnya daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia. Ketika ekosistem tidak lagi mampu menjalankan fungsinya secara optimal, maka bencana akan menjadi keniscayaan.

Selain persoalan ekologis, buruknya infrastruktur drainase menjadi faktor teknis yang memperburuk situasi. Banyak saluran air tidak dirawat secara berkala dan tersumbat oleh sedimentasi atau limbah domestik.

Hal ini menunjukkan lemahnya integrasi antara perencanaan tata ruang dan pembangunan infrastruktur dasar. Penanganan banjir selama ini cenderung bersifat reaktif, bukan preventif, dan belum menyentuh akar persoalan secara menyeluruh.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar, Sejauh mana kebijakan pemerintah daerah mampu melindungi kawasan strategis lingkungan hidup? Apakah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada cukup kuat untuk mengendalikan laju degradasi lingkungan? Dan mengapa suara masyarakat yang terdampak langsung sering kali tidak mendapat ruang dalam pengambilan keputusan?

Sudah saatnya banjir dipahami sebagai konsekuensi logis dari ketidaktegasan pemerintah daerah dalam mengatur relasi antara manusia dan lingkungannya. Bencana ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat sipil untuk menata kembali paradigma pembangunan yang selama ini terlalu antroposentris.

Kabupaten Sumenep membutuhkan langkah korektif yang bersifat struktural, mulai dari penguatan regulasi tata ruang, perlindungan kawasan lindung, hingga edukasi publik mengenai pentingnya konservasi sumber daya alam. Keselamatan ekologis harus ditempatkan sejajar dengan pertumbuhan ekonomi, agar pembangunan tidak menjadi kutukan bagi generasi mendatang.

Jika persoalan ini terus diabaikan, maka banjir hanya akan menjadi awal dari rangkaian krisis yang lebih luas.

Saat itu, upaya penyelamatan tidak lagi cukup, yang tersisa hanyalah penyesalan kolektif atas kelalaian kita hari ini.

 

Fawaid Aktivis Lingkungan dan Pemuda Demokrasi

 

*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News

Tags:AktivisBanjir SumenepFawaidPemuda Demokrasisudut opini