Inspirasi menghampiri pada malam yang sunyi, ketika gitar dipetik kemudian tulisan lirik itu berlari laju dan suara-suara lirih menyuarakan keresahan, lahirlah sebuah karya: Bayar Bayar Bayar oleh Sukatani Band; Muhammad Syifa Al Lufti (gitaris) dan Novi Citra Indriyati (vokalis). Lagu ini, sebuah ironi pedih yang menggambarkan wajah bangsa, menjadi cermin yang menampilkan bayangan kelam korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Namun, seperti api kecil yang ditiup angin, lagu ini tak dibiarkan menyala. Penarikan lagu dan permintaan maaf band Sukatani seolah menjadi monumen bisu atas ketegangan abadi antara seni yang jujur dan kekuasaan yang angkuh. #bersamasukatani
Dalam pembungkaman ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendalam: apakah seni, yang mestinya menjadi suara hati nurani masyarakat, harus tunduk pada kekuasaan? Ataukah ia akan terus berjuang, meski harus berjalan di atas bara? Melalui analisis yang tidak hanya akademis, tetapi juga emosional, saya menuliskan ini, karena miris atau saya bisa bilang “kemunduran demokrasi” menelusuri kisah ini dari sudut pandang manusia kritis kaca mata panjang umur berjuang
Mari kita mulai saja.
Musik: Suara Kebenaran di Tengah Kebisuan
Musik, dalam segala keindahannya, bukan sekadar hiburan. Ia adalah jeritan jiwa, suara yang menggema dari lubuk hati masyarakat yang sering kali tak terdengar. Bayar Bayar Bayar adalah sebuah peluru yang ditembakkan ke udara, mengarah pada sistem yang sudah lama dianggap busuk. Liriknya yang lugas, “Mau korupsi bayar polisi,” menjadi mantra yang menggetarkan, menelanjangi kenyataan yang sudah terlalu lama kita abaikan. Ini saya katakan,…tolong jangan miris…!
Seperti yang pernah ditulis oleh W.S. Rendra, “Seni yang tidak menggugat adalah seni yang mati.” Lagu ini adalah bentuk perlawanan, sebuah gugatan atas sistem yang terus-menerus membungkam kritik dengan tangan besi. Dalam keheningan panjang, Sukatani berani menyuarakan apa yang banyak orang hanya berbisikkan di ruang-ruang gelap.
Kekuasaan: Bayang-Bayang yang Menekan
Namun, seperti angin yang menghempaskan api kecil, kekuasaan tidak tinggal diam. Secara real memang demikian, Grub Band ini bersiar media mengumumkan penarikan lagu itu disampaikan oleh personil Band Sukatani di akun media sosial @sukatani.band pada Kamis, 20 Februari 2025. (TEMPO).
Penarikan lagu ini adalah simbol dari bagaimana kekuatan otoritas sering kali menjadi bayang-bayang gelap yang menekan kebebasan berekspresi. Kita hidup di zaman di mana kritik dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai cermin untuk bercermin diri. Semoga saja bukan indikasi pembungkaman.
Di sini, kita teringat pada kata-kata Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar yang juga menjadi korban pembungkaman: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Lagu ini adalah bentuk tulisan di atas lembaran sejarah. Tetapi, apakah sejarah itu akan dihapus oleh tangan-tangan berkuasa? Ataukah ia akan tetap hidup, membekas dalam ingatan kolektif masyarakat? Bisa iya bisa tidak. Namun kita liat saja lagu ini akan memicu rasa penasaran kemudian akan banyak seniman yang mengcover mereproduksi dan Boom…Viral.
Media Massa: Senjata Dua Mata
Viralnya lagu ini di media sosial adalah bukti bahwa masyarakat tidak tinggal diam. Liriknya yang sederhana tetapi penuh makna menyebar seperti kobaran api, membawa pesan kepada setiap sudut negeri. Media massa, dalam hal ini, menjadi ruang kontestasi antara mereka yang ingin mempertahankan status quo dan mereka yang menginginkan perubahan.
Namun, seperti yang pernah disampaikan oleh Goenawan Mohamad, media adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi alat pembebasan, tetapi juga bisa menjadi senjata untuk menekan mereka yang lemah. Dalam kasus ini, media sosial menjadi medan pertempuran, bukan hanya antara narasi Sukatani dan institusi itu Pols** tetapi juga antara harapan dan keputusasaan. Hmmm,
Efek yang Bergema di Tengah Masyarakat
Lagu ini tidak hanya menjadi sekadar karya seni. Ia adalah sebuah peristiwa sosial, sebuah katalis yang memicu reaksi berantai di masyarakat.
– Efek Kognitif: Ia membuka mata banyak orang tentang realitas korupsi yang sering kali dianggap biasa.
– Efek Afektif: Solidaritas muncul, bukan hanya di kalangan musisi, tetapi juga aktivis dan masyarakat yang percaya bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang harus diperjuangkan.
– Efek Behavioral: Dalam bentuk unggahan ulang, diskusi, hingga protes, masyarakat bergerak, meski hanya sedikit demi sedikit.
Saya teringat tulisan Chairil Anwar* dalam puisinya, “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.” Lagu ini mungkin telah dibungkam, tetapi semangatnya tetap hidup. Ia adalah binatang jalang yang tidak akan pernah tunduk pada kungkungan.
Jalan Menuju Rekonsiliasi: Seni dan Kekuasaan
Namun, di balik semua itu, kita harus menemukan jalan rekonsiliasi. Seni dan kekuasaan tidak harus selalu berada di pihak yang berlawanan. Ada ruang untuk dialog, untuk saling memahami, dan untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
– Dialog Partisipatif: Institusi perlu membuka ruang diskusi dengan seniman, bukan sekadar menghukum atau membungkam.
– Literasi Media: Masyarakat, termasuk aparat POLISI, harus belajar membedakan kritik yang membangun dari penghinaan yang merusak.
– Proteksi Kebebasan Berekspresi: Kita membutuhkan peraturan yang melindungi seniman, bukan menjadikan mereka sasaran intimidasi.
Dalam tulisan lainya karya Seno Gumira Ajidarma, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.” Dan ketika seni musik ditekan, kita harus terus menulis, terus bersuara, hingga keadilan tidak lagi menjadi sekadar mimpi. Mungkin sebagai pengingatan kepada seluruh entitas latar belakang yang pernah belajar organisasi.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” adalah sebuah kisah tentang keberanian dan ketakutan, tentang perlawanan dan penindasan. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kita semua: masyarakat yang terjebak dalam sistem yang kaku, tetapi tetap bermimpi tentang kebebasan. Dalam setiap baitnya, lagu ini berbisik kepada kita untuk tidak menyerah, untuk terus melawan, meski dunia semakin gelap.
Seperti yang pernah ditulis oleh Rendra, “Kami yang kini terbaring antara Krawang dan Bekasi, tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi.” Tetapi melalui karya seperti ini, kita masih bisa berteriak, meski dalam bentuk nada dan kata. Karena selama seni masih hidup, harapan akan keadilan tidak akan pernah mati.
#bersamasukatani
#kamibersamasukatani
Berikut lirik lagu Sukatani berjudul “Bayar Bayar Bayar” yang dinyatakan ditarik peredarannya:
Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Ir. La Mema Parandy, ST., MM
Penulis
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News