Sudut Opini – Di era banjir informasi saat ini, istilah berpikir kritis semakin sering digaungkan. Hampir setiap seminar, kelas, maupun konten motivasi, mengajak generasi muda untuk menjadi pribadi yang kritis. Namun sayangnya, tidak sedikit yang keliru dalam memaknai istilah tersebut. Alih-alih melahirkan sikap intelektual, yang muncul justru krisis rasionalitas: sikap ngeyel tanpa dasar, debat kusir, bahkan pemikiran yang tidak terarah. Fenomena inilah yang perlu dikaji lebih dalam agar generasi muda tidak terjebak dalam kesalahpahaman yang justru merugikan diri sendiri maupun masyarakat.
Kritis Yang Membangun
Bagi sebagian orang, berpikir kritis sering dipahami sekadar berani berbeda atau menentang. Padahal, kritis bukanlah sinonim dari melawan, apalagi asal menolak. Kritis adalah kemampuan untuk menganalisis, menimbang, dan menyampaikan argumen dengan dasar yang rasional. Sementara sikap asal berbeda tanpa pijakan logika justru menunjukkan krisis berpikir.
Contoh sederhana bisa dilihat di media sosial. Banyak anak muda yang merasa sudah “kritis” hanya karena berkomentar pedas pada suatu isu. Padahal, ketika ditanya dasar argumennya, sering kali mereka tidak memiliki landasan kuat, baik dari data, bacaan, maupun analisis yang runtut. Inilah yang disebut krisis: kesalahpahaman antara keberanian berbicara dengan kualitas berpikir.
Berpikir kritis bukanlah hasil instan, melainkan proses intelektual yang berkesinambungan. Ia menuntut keterampilan logika, pemahaman literasi, dan kemampuan menilai informasi dengan cermat. Dalam filsafat ilmu, berpikir kritis dipahami sebagai usaha untuk menguji kebenaran, bukan sekadar membenarkan pendapat pribadi.
Generasi muda perlu menyadari bahwa kritis adalah bagian dari tradisi intelektual. Kritis berarti terbuka terhadap berbagai perspektif, namun tetap menggunakan alat nalar untuk menimbang mana yang benar dan mana yang keliru. Dengan begitu, kritis menjadi jalan untuk menemukan kebenaran, bukan sekadar wadah menyalurkan emosi atau ego pribadi.
Generasi Muda Penting Berpikir Kritis
Generasi muda adalah pilar masa depan bangsa. Mereka adalah calon pemimpin, pengambil keputusan, sekaligus motor penggerak perubahan sosial. Dalam posisi tersebut, berpikir kritis adalah kebutuhan, bukan sekadar pilihan.
Tanpa tradisi kritis, anak muda akan mudah terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. Hoaks, propaganda, dan tren sesaat akan dengan mudah memengaruhi sikap mereka. Hal ini tentu berbahaya, sebab tanpa kemampuan memilah informasi, generasi muda akan kehilangan arah, bahkan menjadi korban manipulasi pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sebaliknya, generasi muda yang terlatih berpikir kritis akan lebih selektif dalam menerima informasi, lebih bijak dalam menyikapi perbedaan, dan lebih berani mengambil keputusan yang benar meskipun tidak populer. Inilah bekal utama bagi lahirnya generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas.
Menghindari Krisis Rasionalitas dan Bukan Tren Sesaat
Krisis rasionalitas generasi muda biasanya muncul karena dua hal. Pertama, miskonsepsi bahwa kritis itu sama dengan berani menentang. Kedua, minimnya latihan berpikir yang berbasis literasi. Banyak anak muda yang aktif bersuara, tetapi pasif dalam membaca dan menulis. Akibatnya, yang muncul adalah kegaduhan wacana, bukan percakapan intelektual.
Untuk menghindari krisis ini, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh:
- Membiasakan membaca – Literasi adalah bahan bakar berpikir kritis. Tanpa membaca, argumen hanya akan lahir dari asumsi kosong.
- Melatih logika dan analisis – Setiap pendapat perlu diuji dengan pertanyaan: apakah sesuai fakta, apakah ada kontradiksi, dan apakah dapat dipertanggungjawabkan?
- Membangun diskusi sehat – Diskusi bukan ajang mencari menang, melainkan ruang untuk memperkaya perspektif.
- Mengasah keterampilan menulis – Dengan menulis, ide dipaksa untuk tertata dan sistematis. Ini melatih otak agar terbiasa berpikir runtut.
Generasi muda sering kali terjebak dalam euforia tren. Saat berpikir kritis dianggap keren, banyak yang latah menggunakannya sebagai label diri. Padahal, kritis bukan sekadar tren, melainkan tradisi panjang yang harus dijaga.
Tradisi kritis lahir dari kebiasaan ilmuwan, filsuf, hingga tokoh pergerakan yang selalu menguji dan menimbang gagasan. Jika tradisi ini dipelihara oleh generasi muda, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang matang secara intelektual dan bijak dalam bertindak. Sebaliknya, jika kritis hanya dijadikan slogan tanpa substansi, maka yang terjadi hanyalah krisis intelektual: generasi yang vokal namun dangkal.
Generasi muda adalah harapan bangsa. Namun harapan itu hanya bisa terwujud jika mereka mampu membedakan antara kritis dan krisis. Kritis berarti menimbang dengan logika, menyampaikan dengan dasar, dan mencari kebenaran dengan rendah hati. Krisis berarti kehilangan arah berpikir, berdebat tanpa nalar, dan menolak tanpa alasan.
Sudah saatnya generasi muda meneguhkan tradisi kritis sebagai gaya hidup intelektual. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi bagian dari percakapan global, tetapi juga mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun peradaban. Ingatlah: kritis bukanlah krisis. Kritis adalah jalan menuju rasionalitas, sementara krisis hanya membawa pada kebingungan.
Moh. Fakhri As Shiddiqy Ketua Umum PMII Rayon Hukum Universitas Islam Jember
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh redaksi Sudut Nusantara News (SNN)