Oleh: Rizqi Ali Sa’bani
Hari ini, HMI merayakan Milad yang ke-78. Sebuah perjalanan panjang yang tak hanya diukur oleh waktu, tetapi juga oleh setiap tetes darah, keringat, dan air mata yang telah tercurah dalam memperjuangkan cita-cita luhur. 78 tahun lalu, HMI lahir sebagai wadah untuk mahasiswa yang berani berpikir, berani melawan ketidakadilan, dan berani menanggung beban perjuangan bangsa. Hari ini, kita mengenang kembali semangat itu, menyadari betapa banyak pengorbanan yang telah dilakukan oleh para kader sebelumnya.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sering kali dilihat sebagai sebuah organisasi mahasiswa biasa—sekadar tempat berkumpul, berdiskusi, atau menyelenggarakan kegiatan kampus. Tapi bagi mereka yang pernah merasakannya, HMI lebih dari sekadar itu. Ia adalah rumah, tempat di mana setiap kadernya tidak hanya belajar tentang teori dan ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang hidup, perjuangan, dan pengorbanan.
Di dalam HMI, kita belajar tentang arti kesulitan dan keberanian, tentang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Di sana, kita diajarkan untuk berjuang, bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk umat, untuk bangsa, dan untuk nilai-nilai kebenaran yang sering kali terlupakan. Dalam tiap rapat yang panjang, dalam tiap diskusi yang mendalam, kita diajarkan untuk berpikir jauh melampaui kenyamanan, dan untuk melihat dunia ini dengan mata hati yang tajam, penuh empati, dan tanggung jawab.
Bukan sekadar himpunan—HMI adalah pengorbanan. Di dalamnya, kita sering kali harus memilih antara kenyamanan pribadi dan panggilan untuk melayani. Kita berhadapan dengan tantangan yang tak pernah mudah, karena menjadi bagian dari HMI berarti menanggalkan ego pribadi dan menggantinya dengan semangat kebersamaan, semangat untuk mengubah keadaan yang lebih baik, meski jalan yang ditempuh penuh liku.
Banyak di antara kita yang merasakan betapa beratnya menyeimbangkan tuntutan organisasi, kuliah, dan kehidupan pribadi. Tapi di situlah letak perjuangannya. Kita tidak hanya berjuang untuk nilai akademik, tapi lebih dari itu, kita berjuang untuk memperbaiki masyarakat, untuk mengangkat mereka yang terpinggirkan, dan untuk menyuarakan yang tak terdengar. Di dalam HMI, kita dipaksa untuk menghadapi kenyataan sosial yang sering kali pahit, dan memikirkan solusi atas masalah-masalah yang kita hadapi bersama. Dan dalam setiap perjuangan, ada kehilangan—waktu, tenaga, bahkan kadang-kadang hati.
Bukan sekadar himpunan—HMI adalah sebuah perjalanan panjang untuk menemukan makna hidup. Setiap langkah yang kita ambil di dalamnya, meskipun penuh dengan kesulitan, mengajarkan kita untuk berkomitmen pada perubahan, berjuang untuk kebaikan meski hasilnya tak selalu langsung terlihat. Dalam HMI, kita dipertemukan dengan banyak perbedaan, tetapi justru perbedaan itu yang mengajarkan kita tentang toleransi, tentang bagaimana bisa bekerja sama untuk tujuan yang lebih besar.
Mereka yang pernah merasakan proses kaderisasi, tidak hanya belajar untuk memimpin, tetapi juga belajar untuk ikhlas, untuk memberi tanpa berharap imbalan. Kita belajar untuk jatuh dan bangkit lagi, untuk saling mendukung, dan untuk terus maju meskipun terkadang jalan itu terasa sunyi dan penuh rintangan.
Di tengah dunia yang semakin individualistik, HMI mengajarkan kita untuk terus peduli, untuk tidak pernah berhenti memperjuangkan kebenaran dan keadilan, meskipun tantangannya semakin berat. HMI mengajarkan kita bahwa hidup bukan hanya soal meraih cita-cita pribadi, tetapi tentang memberi manfaat bagi orang lain, tentang membangun masyarakat yang lebih baik, meski itu berarti kita harus menghadapi segala rintangan dan kesulitan.
HMI bukan hanya sebuah organisasi, ia adalah ruang di mana kita menemukan makna perjuangan yang sesungguhnya. Di dalamnya, kita tidak hanya diajarkan untuk menjadi pemimpin, tetapi juga diajarkan untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang peduli, yang memiliki hati yang tulus untuk perjuangan yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Bukan sekadar himpunan—HMI adalah perjalanan panjang yang menuntut pengorbanan, kesetiaan, dan komitmen untuk perubahan. Dan meski terkadang kita merasa lelah, kecewa, atau ingin menyerah, kita tahu bahwa jalan yang kita pilih ini adalah jalan yang penuh makna, jalan yang akan terus mengingatkan kita bahwa perjuangan kita tidak pernah sia-sia.***
Rizqi Ali Sa’bani
Kader HMI Cabang Salatiga
*) Konten di Kolom Opini Sudut Nusantara merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News