DANANTARA: Kekuatan Superimperialisme Indonesia atau Ancaman Otoritarianisme Baru?

Foto: Ir. La Mema Parandy Penulis (Istimewa)

Sejak Michael Hudson menulis Superimperialism (1972), dunia telah menyaksikan bagaimana negara-negara besar menggunakan sumber daya alam dan instrumen keuangan sebagai alat dominasi global. Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, berupaya meniru strategi ini dengan menjadikan nikel underline liquid sebagai aset strategis dalam proyek Super Holding bernama Danantara. Presiden Prabowo mengatakan bahwa Danantara sebagai dana kekayaan Negara atau sovereign wealth fund Indonesia itu akan mengelola aset senilai lebih dari 900 miliar dolar AS, dengan proyeksi dana awal mencapai 20 miliar dolar AS. Nantinya, nilai investasi awal tersebut akan ditanamkan pada 20 proyek strategis pada berbagai sektor industri. Dalam pidatonya, Prabowo menyampaikan Danantara akan fokus pada sektor industri seperti hilirisasi nikel, bauksit, tembaga; pembangunan pusat kecerdasan buatan atau artificial intelligence; kilang minyak; pabrik petrokimia; produksi pangan dan protein; akuakultur; dan energi terbarukan.

Salah satu inisiatif strategis utama yang menguatkan pendekatan ini adalah pembentukan Danantara Super Holding. aliran modal dari Entitas konglomerasi 7 BUMN  milik negara ini dapat dirancang untuk mengkonsolidasikan seluruh rantai pasokan nikel, mulai dari ekstraksi, pengolahan, hingga produksi baterai EV. Dengan model pengelolaan yang terpusat, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan kontrol atas nilai tambah dan memastikan bahwa manfaat ekonomi yang dihasilkan tidak hanya mengalir ke perusahaan swasta, melainkan juga mendukung pembangunan nasional secara menyeluruh. Strategi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang strategis, di mana negara mampu memanfaatkan sumber daya alamnya sebagai alat tawar dalam negosiasi dengan negara-negara maju yang sangat bergantung pada pasokan nikel untuk mengakselerasi transisi energi.

Read More

Tidak kalah penting adalah risiko yang muncul dari fluktuasi pasar dan inovasi teknologi. Walaupun permintaan nikel diprediksi tetap tinggi seiring dengan revolusi baterai EV, munculnya alternatif teknologi seperti baterai sodium-ion bisa mengurangi ketergantungan terhadap nikel. Jika teknologi baru ini terbukti lebih efisien dan ekonomis, maka investasi besar dalam pengolahan nikel domestik bisa kehilangan relevansi dan nilai ekonomisnya. Oleh karena itu, fleksibilitas serta adaptasi terhadap perubahan pasar dan perkembangan teknologi menjadi kunci agar strategi nasional ini tetap efektif dan berdaya saing.

Secara keseluruhan, strategi Indonesia dalam mengelola nikel melalui kebijakan nasionalisme dan pembentukan Danantara Super Holding merupakan contoh inovatif dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Dengan memanfaatkan kekayaan alam sebagai alat tawar menawar di tingkat internasional, Indonesia berupaya menciptakan keseimbangan baru yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mendukung kemajuan teknologi dan pembangunan berkelanjutan. Meskipun terdapat tantangan baik dari segi hukum internasional, birokrasi, maupun perubahan teknologi, pendekatan ini menunjukkan bahwa negara berkembang memiliki kapasitas untuk mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam guna mencapai kemandirian ekonomi dan posisi strategis di peta global. Pendekatan ini, jika dijalankan secara konsisten dan adaptif, berpotensi menjadi model bagi negara-negara lain dalam menegosiasikan peran mereka di tengah persaingan geopolitik yang semakin kompleks.

Namun, kebijakan ini menuai berbagai kritik, terutama terkait efisiensi anggaran, nepotisme, pelemahan mekanisme pengawasan, serta risiko konsolidasi kekuasaan yang dapat memperburuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Artikel ini akan membedah Danantara melalui lensa teori ekonomi, politik, dan tata kelola, guna memahami apakah entitas ini benar-benar dapat membawa Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 atau justru menjadi cerminan baru dari Orde Baru.

Efisiensi Anggaran dan Alokasi Modal Awal yang Kontroversial

Pemerintahan Prabowo telah memangkas lebih dari Rp 300 triliun dari APBN dengan dalih efisiensi anggaran. Namun, dana tersebut justru disalurkan ke Danantara, bukan dialokasikan untuk program kesejahteraan rakyat atau pembangunan infrastruktur yang lebih merata.

Hal ini bertolak belakang dengan konsep awal Danantara yang disusun oleh Sumitro Djojohadikusumo, yang mengusulkan agar modal awal berasal dari 1-5% laba BUMN. Praktek ini menjadi anomali karena modal awal seharusnya berasal dari keuntungan BUMN, bukan pemangkasan anggaran kementerian yang berpotensi menghambat layanan publik.

Menurut teori Principal-Agent Problem oleh Jensen & Meckling (1976), pemerintah sebagai pemilik (principal) sering gagal mengawasi agen (pengelola BUMN), sehingga terjadi konflik kepentingan. Dalam konteks ini, Danantara berpotensi menjadi instrumen politik, bukan sekadar lembaga investasi negara.

Seringkali Danantara dibandingkan dengan Temasek, Sovereign Wealth Fund (SWF) Singapura yang sukses mengelola aset negara. Namun, perbedaan fundamental antara keduanya perlu diperhatikan:

Struktur Tata Kelola: Temasek dikelola oleh entitas swasta yang independen dengan fokus utama pada profitabilitas. Danantara dikendalikan oleh pemerintah dan berisiko tinggi terhadap intervensi politik. Konflik Kepentingan dan Nepotisme: Banyak jabatan strategis di BUMN diisi oleh figur yang memiliki afiliasi dengan partai politik. Keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan, keponakannya Pandu Patria Sjahrir, serta eks-Presiden Joko Widodo dalam struktur pengawasan Danantara menimbulkan persepsi bahwa entitas ini lebih condong ke arah konsolidasi kekuasaan daripada pembangunan ekonomi nasional.

Salah satu kritik terbesar terhadap Danantara adalah lemahnya mekanisme checks and balances. Fakta bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus meminta izin dari DPR sebelum melakukan audit, merupakan indikasi pelemahan lembaga pengawasan.

Menurut teori Demokrasi Deliberatif Jürgen Habermas (1996), transparansi dan pengawasan independen adalah pilar utama demokrasi. Ketika lembaga seperti KPK dan BPK kehilangan independensinya, peluang korupsi semakin terbuka lebar.

Dominasi Oligarki dan Kembalinya Politik Orde Baru

Lingkaran Prabowo dikelilingi oleh pengusaha dan oligarki, termasuk Hashim Djojohadikusumo dan kroni-kroninya. Dalam teori The Power Elite oleh C. Wright Mills (1956), dijelaskan bahwa kekuasaan sering terkonsentrasi di tangan elit ekonomi dan politik yang memiliki kepentingan pribadi, bukan kepentingan rakyat.

Selain itu, Antonio Gramsci (1971) dalam teori Hegemoni menyebutkan bahwa kekuasaan tidak hanya dipertahankan melalui represi, tetapi juga melalui kontrol wacana publik. Fenomena penggunaan buzzer untuk membungkam kritik terhadap Danantara merupakan contoh nyata bagaimana elit berusaha mempertahankan dominasi mereka.

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, ada risiko bahwa Danantara justru akan memperburuk ketimpangan ekonomi. Kebijakan seperti privatisasi BUMN atau kenaikan tarif layanan publik dapat membebani masyarakat kelas menengah dan miskin.

Danantara memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membawa Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. Namun, tanpa tata kelola yang baik, transparansi, dan supremasi hukum, entitas ini dapat menjadi alat otoritarianisme baru.

Memastikan Transparansi dan Akuntabilitas: Audit independen harus diperbolehkan tanpa intervensi politik. Menghapus Nepotisme: Pengelolaan Danantara harus dilakukan oleh profesional berbasis meritokrasi. Mencegah Konsolidasi Kekuasaan: Partisipasi publik dan media harus dijamin untuk mengawasi kebijakan terkait Danantara. Meningkatkan Pengawasan Hukum: KPK dan BPK harus diberikan wewenang penuh untuk mengawasi keuangan Danantara tanpa perlu izin DPR. Fokus pada Kesejahteraan Rakyat: Kebijakan Danantara harus dikaitkan dengan program ekonomi yang langsung berdampak pada masyarakat kelas bawah.

Jika tidak ada perbaikan dalam aspek-aspek di atas, maka Danantara hanya akan menjadi bentuk baru dari praktik KKN ala Orde Baru, di mana aset negara dikuasai oleh elit dan rakyat kecil tetap menjadi korban.

Related posts