Sejak dulu, problem guru honorer selalu menjadi persoalan kambuhan meskipun pemimpin di Indonesia berganti secara berkala.
Guru honorer kerap kali dipandang sebelah mata padahal jasanya dalam mencerdaskan bangsa sungguh ikhlas apalagi jika ditelisik pada pelosok-pelosok desa yang masih belum tersentuh kemajuan.
Dikutip dari kumparan.com setidaknya ada 74% guru honorer yang masih hidupnya dibawah rata-rata. Jangankan mendapatkan gaji yang layak dan tunjangan untuk melanjutkan hidup, di beberapa desa kecil guru honorer nyaris bekerja tanpa gaji dan dianggap sebagai pengabdian yang mengharuskan ikhlas.
Krusialnya, guru honorer adalah manusia biasa yang secara realitas tidak memiliki perlindungan hukum istimewa. Jika dalam proses belajar ditemukan kekerasan dan tidak berkenan bagi murid maka tamatlah riwayatnya. Dongeng yang lazim di negeri ini.
Peliknya persoalan guru honorer yang tak kunjung selesai menjadi faktor ambruknya pendidikan di tingkat desa dan kampung terpencil di Indonesia.
Tugas Siapa?
Lagi-lagi secara gamblang pasti kembali pada ‘pemerintah’. Namun dalam konteks sosial, kesejahteraan guru honorer bisa dimulai sejak membiasakan persepsi bahwa menjadi guru adalah profesi mendidik yang seharusnya dimuliakan dan difasilitasi dengan layak.
Secara berkesinambungan hal inilah yang menyebabkan banyaknya anak muda di desa mudah tenggelam tanpa tau harapan masa depannya menjadi apa. Sebab figur guru tidak lagi menarik sebagai role model dan anak-anak tidak menemukan sosok impian yang menyulut ambisinya sebagai generasi penerus bangsa.
Tulisan ini disampaikan dengan begitu sederhana, karena berisi harapan mulia untuk menjaga eksistensi guru tanpa terbatas status profesi. Entah guru honorer atau ASN, semuanya wajib diperhatikan sebagai panutan generasi.
Aliya Zahra
Penulis Buku “Catatan Kritis Perempuan, Sebuah Analisis Dinamika Sosial”
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News