Ketika Narsisme Mulai Menggerogoti Generasi Emas Melalui Alam Bawah Sadar

Ach. Nur Fairuzie Mahasiswa S1 Biologi Murni Universitas Islam Malang. (Dok. Pribadi)

Sudut Opini – Narcissistic Personality Disorder atau biasa dikenal dengan sebutan (NPD), Dalam arti sehari-hari, NPD bukan sekadar kepercayaan diri yang berlebihan atau narsis. Ini adalah gangguan kepribadian yang serius yang ditandai oleh rasa superioritas yang tidak realistis, kebutuhan validasi terus-menerus berdatangan, serta ketidakmampuan untuk berempati. Saat ini, kasus seperti ini lebih sering ditemukan, terutama pada generasi muda yang tumbuh dalam budaya media sosial dan validasi instan.

Bangsa kita memiliki cita cita yang luar biasa, Visi Indonesia Emas 2045, yang bertujuan untuk mencetak generasi unggul yang akan membawa Indonesia menjadi negara maju pada usia 100 tahun kemerdekaannya. Namun, Narcissistic Personality Disorder (NPD) adalah jurang yang semakin dekat namun jarang disadari di tengah kemajuan ekonomi dan fisik.

Read More

Budaya Digital: Menjadi Lahan Basah para Narsisisman Narsismin

Tumbuh dalam lingkungan digital yang mengutamakan pencitraan, generasi muda kita saat ini haus akan Tampilan, popularitas, dan impresi untuk menentukan nilai diri di platform digital seperti Instagram dan TikTok. Sangat menyedihkan ketika keadaan seperti ini menggerogoti prinsip-prinsip utama bangsa dan kehidupan individu.

Integritas tak lagi menjadi prioritas utama. Ini membuat orang haus akan pengakuan dan rentan rapuh ketika pujian berhenti datang. Jika generasi berikutnya egois, manipulatif, dan terobsesi pada diri sendiri, prinsip-prinsip empati, solidaritas, dan kerja sama modal yang menjadi dasar pembangunan Indonesia Emas terancam musnah. Bukan lagi Indonesia emas melainkan Indonesia cemas

Tanpa disadari, NPD Bisa Jadi Malapetaka Karakter Nasional

Bangsa Kita memiliki kemungkinan untuk menghasilkan generasi yang cerdas secara akademis, tetapi mereka mungkin tidak kuat secara sosial dan moral. Ini adalah kerusakan moral bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya individu. Bayangkan situasi di mana para pemimpin masa depan tidak memiliki rasa empati, pengusaha muda hanya mengejar citra, dan persaingan narsistik menggantikan kolaborasi.

Lebih mengkhawatirkan lagi, hingga saat ini belum ada rencana nasional yang serius untuk mengantisipasi efek penyakit ini dalam jangka panjang. Kita terlalu menekankan pembangunan fisik dan ekonomi, lupa bahwa manusia dalam arti utuh : akal, hati, dan nilai hidupnya adalah pilar terpenting kemajuan suatu bangsa dan negara.

Saatnya Bergerak: Pendidikan Karakter dan Literasi Emosional

Pendidikan karakter harus menjadi hal yang paling penting. Bukan hanya sekadar kuliah resmi dan formal, itu adalah lingkungan pembelajaran yang menanamkan rasa tanggung jawab, empati, dan kesadaran sosial. Rasa kekeluargaan dan sekolah harus mendidik individu yang tidak hanya ingin dikenal, tetapi juga ingin memahami dan terlibat. Literasi emosional dan digital juga harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak dan remaja harus dididik untuk menavigasi dunia digital dengan cara yang sehat, seperti mengetahui cara menggunakan algoritma, mengetahui cara membedakan validasi palsu dari harga diri sejati, dan menjaga kesehatan menjadi.

Generasi Emas, Bukan Generasi Citra & Cemas

Generasi emas yang kita dambakkan bukanlah generasi yang banyak follower, tapi kosong empati. bukan pula generasi yang setia, tetapi generasi yang tidak peduli akan citra. Generasi ini hanya bersinar di layar, tetapi hancur di balik layar. Jika kita semua benar-benar ingin Indonesia bersaing dengan negara-negara besar dunia, kita semua harus mulai dari sekarang dengan membangun orang Indonesia yang utuh yang tidak hanya pintar tetapi juga sadar, peduli, dan jujur.

 

 

Ach. Nur Fairuzie Mahasiswa S1 Biologi Murni Universitas Islam Malang

 

*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News (SNN)

Related posts