Kritik Atas Kurikulum Cinta dan Tantangan Untuk Para Pegawai Kemenag

Foto: (Istimewa)

Sudut Opini — Kurikulum cinta namanya. Entah, apakah istilah baru kurikulum cinta buatan Menteri Agama ini merupakan tandingan daripada kurikulum merdeka ala Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah atau bukan. Sebab istilah-istilah kurikulum ini bukan hanya membingungkan rakyat, melainkan juga para Menterinya. Sebab sampai hari ini, saya belum tahu kejelasan apakah kurikulum merdeka akan diganti lagi istilahnya oleh Menteri yang bersangkutan? Yang jelas jajaran Kemenag dan Kemendikdasmen sedang berjibaku mempersiapkan semua keperluannya sebelum akhirnya nanti dilempar ke publik. 

Kritik untuk Kemendikdasmen kita kesampingkan dulu, mari mengulas kurikulum cinta ala Menag Nasaruddin Umar, di mana inisatif istilah baru kurikulum ini ternyata hanya didasarkan para pendapat pribadi Menag soal toleransi. Sebagaimana kita tahu, penekanan pada toleransi oleh Kemenag selama ini kurang apa? Kurang apa proyek moderasi Islam/beragama yang selama ini digetok-paksakan kepada seluruh pegawai Kemenag berikut sampai turunan ke bawahnya? Bagaimana hasil dan tanggungjawab proyek moderasi Islam/beragama? Apakah sesuai atau malah meleset jauh dari harapan? Saya yakin jawaban dari beberapa pertanyaan ini, warganet pun telah mengetahuinya, apalagi jika dikaitkan anjloknya wibawa Kemenag dan Menteri sebelumnya. 

Read More

Kalau masalahnya hanya soal toleransi dan intoleransi, mengapa yang dibesar-besarkan istilahnya? Ada relevansi apa antara kasus-kasus intoleransi terhadap istilah kurikulum cinta? Bukankah masih banyak umat agama dan aliran kepercayaan lain yang selama mendapatkan perlakuan diskriminatif atas haknya dalam kebebasan beragama? Berapa sering umat agama dan aliran kepercayaan lain dilarang membangun rumah ibadah, dirusak rumah ibadahnya, dilarang melaksanakan ibadah, dicurigai aktivitas keagamaannya, dituduh segala gerak-gerik keagamaannya? Pernahkah kita melihat Menag berdiri gagah di hadapan banyak media nasional, lalu dengan lantang membela saudara-saudara kita yang mendapat perlakuan diskriminatif. 

Selama menjabat, Menag juga belum terlihat gebrakannya. Yang ada hanyalah kerja-kerja formalitas dan seremonial bernuansakan romantisme agama. Dicecar soal terobosan berkenaan dengan pelaksanaan ibadah haji oleh Komisi terkait di DPR, jawabannya tidak jelas dan gelagapan. Lebih-lebih Menag juga merupakan pejabat yang masih merangkap jabatan sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, bahkan menurut informasi yang saya dapatkan, ia juga merupakan pejabat Komisaris di salah satu perusahaan.

Mau berharap apa terhadap Menag kalau kinerjanya masih di bawah rata-rata? Ternyata gelar akademik yang mentereng, tidak mesti berkorelasi positif terhadap kualitas kinerja. Saya tidak membayangkan, kalau jabatan Menag diambil alih oleh Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat terpilih, yang sedang terus menunjukkan keseriusannya dalam membenahi birokrasi para pejabat yang bobrok, berikut perilaku pemborosan para pejabatnya. 

Bukan rahasia umum, apabila Kemenag merupakan salah satu Kementerian terkorup, di mana praktik KKN begitu mudah terjadi. Saya juga sudah sangat sering mendapatkan pengaduan dari para guru Madrasah atas praktik pungutan liar dan sunat anggaran oleh para oknum pejabat Kemenag di daerah-daerah. Belum lagi bagi-bagi kuota haji dan petugas haji yang begitu syarat praktik KKN. Bagaimana bisa pada suatu musim haji teradapat 6 sampai 7 orang yang bersahabat sangat akrab, hanya karena punya salah seorang sahabat di jajaran tinggi kemenag, mereka bergaya di tanah suci, bersantai-santai ria dengan biaya dan fasilitas dari negara. Bedebah! 

Kalau diceritakan lebih lanjut mungkin akan lebih panjang lagi ceritanya. Bagaimana mungkin lembaga dan pejabat Kementerian Agama, kinerja dan perilakunya tidak mencerminkan spirit kemuliaan agama (akhlakul karimah)? Inilah tantangan berat bagi para pegawai di Kementerian Agama agar kinerjanya tidak berleha-leha. Tadinya saya hendak menggunakan “dosen” bukan pegawai, agar tantangan ini spesifik tertuju pada kaum cendekiawan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Terus terang, saya banyak berteman dengan mereka yang bekerja di bawah naungan Kementerian Agama, mulai dari pejabat tingginya, dosen, sampai para penyuluh agama yang berada di KUA-KUA. Mereka nyaris merupakan para alumni santri dari Pesantren-pesantren terkemuka di Indonesia dan kampus-kampus terkenal di mancanegara. 

Beranikah para pagawai atau dosen Kemenag mengkritik atasannya Menag Nasaruddin Umar? Entah mengapa, saya ragu terhadap mereka semua. Padahal, ada banyak di antara mereka, para pegawai (dosen, cendekiawan, dll) yang rajin mengkritik Pemerintah, tetapi di saat yang sama melempem terhadap Menteri Agamanya sendiri (yang juga bagian pokok dari Pemerintah). Sebab boro-boro mengkritik, yang ada justru mereka menikmati zona nyaman dan malah diam-diam (ada yang malu-malu, terang-terangan, menerabas aturan) merangkap jabatan, tidak pandang mereka pejabat laki-laki maupun perempuan. 

 

Mamang M Haerudin

Pengasuh Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah

 

*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News

Related posts