Sudut Opini – Dalam arus sejarah pendidikan di bumi Nusantara, guru pernah menempati posisi yang sangat mulia dan bahkan nyaris disakralkan. Ia adalah pengayom peradaban, pembimbing moral, dan penunjuk jalan terang dalam gelapnya kebodohan. Namun kini, di tengah gegap gempita modernitas dan pasar bebas ilmu, posisi itu perlahan tergeser, nyaris hilang maknanya. Guru tak lagi menjadi sumber nilai; ia terpinggirkan menjadi sekadar karyawan lembaga pendidikan. Sakralitas guru di bumi Indonesia tengah mengalami kemunduran yang serius, dan itu bukan semata kesalahan individu, melainkan konsekuensi dari perubahan sistemik yang mencengkeram dunia pendidikan kita.
Pendidikan di Indonesia tak lahir dari ruang hampa. Sejarahnya mencatat akar peradaban pendidikan telah tumbuh sejak masa Hindu-Buddha dengan hadirnya padepokan-padepokan dan mandala yang menjadi pusat belajar dharma. Sistem ini mengedepankan asketisme, keheningan kontemplatif, dan transmisi nilai-nilai adiluhung. Pendidikan di era ini bersifat kontemplatif dan sangat menghargai kebijaksanaan.
Kemudian datang Islam dengan pendekatan pembebasan melalui dakwah Walisongo. Pendidikan menjadi gerakan sosial berbasis pesantren, langgar, dan surau yang tidak hanya mengajarkan membaca Al-Qur’an dan kitab kuning, tetapi juga membangun karakter, etika, dan kesadaran sosial. Guru saat itu dikenal sebagai kyai, ustadz, atau mu’allim, yang disegani karena keteladanannya, bukan semata karena ilmu dan gelarnya.
Secara etimologis, kata pendidikan sendiri dalam konteks peradaban Mediterania berakar dari istilah Arab funduq, yang berarti tempat singgah, tempat peristirahatan jiwa. Sementara itu, dalam penelusuran Yunani, kata fundukeyon merujuk pada tempat penggemblengan rohani dan jasmani. Maka pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu: ia adalah jalan pembentukan manusia (humanisasi) dalam kerangka peradaban. Maka pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya baik secara intelektual, moral, maupun spiritual.
Sayangnya, ketika kita menggeser pandangan ke hari ini, guru tak lagi menjadi funduk atau fundukeyon itu. Dulu, guru adalah suri teladan; kini hanya menjadi pelaksana kurikulum. Dulu, guru adalah pemimpin moral komunitasnya; kini sekadar pekerja yang digaji rendah dan diukur produktivitasnya lewat angka-angka administratif. Dulu, guru siap mendharmakan dirinya bagi bangsa dan kemanusiaan, kini tak jarang yang bahkan tawar-menawar terhadap tugas tambahan di luar jam kerja.
Lebih memprihatinkan lagi, guru kini tak lagi disegani. Bukan karena murid terlalu kritis, melainkan karena guru kehilangan otoritas moral. Perubahan ini bukan terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari sistem pendidikan yang makin terkomodifikasi. Kita mencetak guru dengan orientasi administratif, bukan ideologis. Kita mendidik mereka untuk lulus seleksi ASN, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Padahal sejak dahulu, guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi ketika jasa guru dikomodifikasi, yang muncul adalah mentalitas transaksional. Guru hari ini tidak hanya mengalami pelemahan posisi sosial, tetapi juga krisis identitas. Dan bangsa yang gagal memuliakan guru, niscaya akan kehilangan masa depannya.
Dalam perspektif humanisasi, sebagaimana digaungkan oleh Cak Nur dan para pemikir progresif HMI, pendidikan seharusnya mengangkat harkat manusia. Maka guru bukan sekadar pendidik, tetapi penggerak kemanusiaan. Ia adalah aktor perubahan sosial yang mengawal lahirnya generasi sadar, kritis, dan merdeka dalam berpikir. Hal ini selaras dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menyatakan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menindas. Maka peran guru sejatinya adalah sebagai transformative intellectual, bukan sekadar pengajar pasif. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga penanaman nilai dan pembentukan watak bangsa.
Dalam perspektif keislaman, tugas guru tidak sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan hikmah dan membentuk akhlak. Rasulullah SAW sendiri diutus bukan hanya membawa kitab, tetapi juga untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Maka ketika guru kehilangan martabatnya, sesungguhnya yang terancam adalah masa depan umat.
Bangsa ini tidak kekurangan lembaga pendidikan, tetapi kekurangan figur guru yang mampu menjadi teladan sejati. Kita memerlukan guru yang tidak hanya pandai menjelaskan, tetapi juga bersedia menghidupi ilmunya. Guru yang bukan hanya bekerja demi menggugurkan tugas, tetapi yang berjuang menyalakan pelita dalam jiwa-jiwa muda yang gelisah.
Sudah saatnya kita menimbang kembali makna sakralitas guru. Mengembalikan martabatnya bukan berarti mengkultuskannya, tetapi menempatkan kembali guru sebagai simpul utama dalam bangunan bangsa. Pendidikan yang sejati membutuhkan guru yang sejati pula. Karena sejatinya, peradaban tidak dibangun oleh kekuatan senjata atau kekayaan ekonomi, tetapi oleh kualitas akhlak dan pemikiran yang dibentuk melalui pendidikan yang bermakna. Dalam dunia yang semakin kehilangan arah nilai, guru harus kembali menjadi penjaga cahaya: nûrun ‘alâ nûr cahaya di atas cahaya.
Sudah saatnya kita, generasi muda, khususnya kader HMI, menyuarakan kembali pentingnya reorientasi nilai dalam pendidikan. Bukan sekadar perubahan kurikulum, tetapi perubahan cara pandang terhadap guru dan proses pendidikan itu sendiri. Mari kita bangun kesadaran kolektif bahwa guru bukanlah profesi biasa mereka adalah penopang masa depan bangsa. Dan selagi masih ada guru yang ikhlas, masih ada harapan untuk Indonesia yang lebih berpribadi dan berperadaban.
Khoironi Ketua Umum HMI Cabang Bangkalan Komisariat Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh redaksi Sudut Nusantara News (SNN)