Sudut Opini – Pendidikan merupakan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai peraturan nasional maupun internasional. Dalam alenia ke empat pembukaan konstitusi negara kita, pemerintah memiliki tugas dan kewajiban dalam mencerdaskan setiap anak bangsa tanpa terkecuali. Namun, dalam praktiknya, kesetaraan akses dan kualitas pendidikan belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama oleh mahasiswa dengan spektrum autisme.
Meskipun jumlah mahasiswa autis di perguruan tinggi terus meningkat, belum semua institusi pendidikan mampu menyediakan lingkungan yang ramah, adaptif, dan inklusif bagi mereka. Kesenjangan pendidikan tinggi khususnya masih nampak jelas di depan mata terutama bagi para mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus. Padahal Tuhan menciptakan setiap umat Nya dengan berbagai kondisi berikut kelebihan serta kekurangannya.
Mahasiswa dengan spektrum autisme bukanlah individu yang tidak mampu secara intelektual. Justru banyak di antara mereka yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang-bidang tertentu seperti matematika, teknologi, seni, maupun literasi. Namun, tantangan yang mereka hadapi di perguruan tinggi sering kali tidak berkaitan dengan kemampuan akademik, melainkan pada hambatan lingkungan baik sosial, administratif, maupun struktural.
Banyak di antaranya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, menghadapi tekanan sosial, atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan sistem pembelajaran yang kaku dan homogen. Sayangnya, sistem pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat berorientasi pada standar umum tanpa cukup ruang bagi keberagaman cara belajar, termasuk yang dibutuhkan oleh mahasiswa autis.
Mahasiswa dengan spektrum autisme bukanlah kelompok yang harus “disesuaikan” dengan sistem, melainkan individu yang berhak atas lingkungan belajar yang memahami dan menghargai perbedaan mereka. Memahami tantangan mereka adalah langkah awal, tetapi lebih penting lagi adalah membuka peluang agar mereka dapat berkembang, berprestasi, dan berkontribusi.
Dengan dukungan yang tepat, mahasiswa autis bisa menjadi bagian penting dalam menciptakan kampus yang benar-benar inklusif bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam praktik nyata. Kehadiran mahasiswa autis mendorong kampus untuk mengembangkan sistem pendidikan yang lebih manusiawi dan responsif terhadap keberagaman kebutuhan belajar. Selain itu dari mereka bisa menjadi agen perubahan yang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas.
Langkah Nyata Menuju Kesetaraan
Mahasiswa autis memiliki hak yang sama dengan mahasiswa lainnya, dengan pemberlakuan yang sama pula terhadap mereka. Pendekatan emosional dengan konsep “memanusiakan manusia” haruslah dijalankan terhadap setiap mahasiswa tanpa terkecuali. Untuk mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi mahasiswa autis, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, kampus, organisasi penyandang disabilitas, serta keluarga.
Secara regulasi dan kebijakan sebetulnya sudah banyak payung hukum yang memberikan dukungan bagi pendidikan inklusif di jenjang perguruan tinggi. Pasal 42 hingga 44 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin hak pendidikan bagi penyandang disabilitas di semua jenjang, termasuk perguruan tinggi. Selain itu Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Layanan Pendidikan Inklusif di Perguruan Tinggi memberikan rambu-rambu lebih rinci terkait penyelenggaraan layanan pendidikan inklusif.
Kerangka hukum di Indonesia sebenarnya sudah cukup kuat dalam mendukung pendidikan inklusif di perguruan tinggi. Namun, tantangannya terletak pada implementasi nyata di tingkat kampus, apakah peraturan itu diterjemahkan ke dalam kebijakan internal, layanan yang konkret, dan perubahan budaya akademik yang mendukung keberagaman. Oleh karennya setiap kampus hendaknya memiliki komitmen yang kuat mewujudkan layanan inklusif bagi mahasiswa autis.
Selain itu ada beberapa hal yang mungkin dapat dijalankan sebagai aksi nyata terwujudnya kesetaraan pendidikan bagi mahasiswa autis di Indonesia, yakni yang pertama menyusun kebijakan pada lembaga perguruan tinggi. Hal demikian dapat dijalankan misalnya dengan mengadakan Unit Layanan Autis (ULA) pada setiap perguruan tinngi berikut dengan aksesibilitas fisik dan sosial yang ada.
Yang kedua dengan Memberikan pelatihan terhadap dosen maupun staf perguruan tinggi yang bertujuan meningkatkan rasa empati dan kedekatan secara emosional dengan para mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus tersebut. Selain itu adanya pelatihan diharapkan tepat dalam setiap pendekatan yang dilakukan terhadap para mahasiswa autis mengingat beragamnya jenis autis yang ada.
Yang ketiga modifikasi kurikulum maupun metode pembelajaran yang dapat djalankan dengan memberikan fleksibilitas dalam metode pengajaran dan penilaian (misalnya ujian lisan diganti tugas tertulis). Selain itu misalnya dengan memberi waktu tambahan saat ujian atau juga dapat disediakan bahan ajar dalam berbagai format (audio, visual, teks sederhana).
Dan yang terakhir dengan kolaborasi berbagai pihak termasuk orang tua. Hal tersebut dapat dijalankan dengan melibatkan orangtua maupun wali dalam perencanaan pendidikan individu mahasiswa. Sinergi dengan dengan psikolog, terapis, dan organisasi autisme untuk dukungan lebih lanjut juga sangat diperlukan bagi mahasiswa autis.
Adanya beberapa langkah nyata tersebut diharapkan mampu mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi mahasiswa autis dalam menggapai cita-cita mereka. Bagaimanapun tidak ada satu orangpun berharap lahir dengan keterbetasan, namun kita sebagai pemangku kebijakan hendaknya memberikan ruang bagi setiap insan guna meraih impiannya.
Dr. Hadis Turmudi, M.H., Dosen pengajar di STMIK AMIKOM Surakarta.
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh redaksi Sudut Nusantara News (SNN)