Sudut Opini – Dalam lanskap politik dan ketatanegaraan Indonesia, Polri bukan sekadar lembaga penegak hukum, tetapi salah satu pilar kepercayaan publik. Ia berada di garis depan menjaga stabilitas, merawat demokrasi, sekaligus mengatasi keresahan sosial. Di tengah transisi pemerintahan dan tantangan kebijakan baru, wacana tentang Kapolri 2025 kembali mengemuka. Namun di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto masih menaruh kepercayaan pada Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang sejak 27 Januari 2021 memimpin institusi ini. Kepercayaan itu tak sekadar simbolik, melainkan bentuk mandat untuk memperkuat peran Polri dalam agenda strategis nasional, termasuk isu ketahanan pangan.

Sigit Prabowo, lahir di Maluku 5 Mei 1969, kini berusia 56 tahun dan akan memasuki usia pensiun pada 2027. Dengan dua tahun tersisa dalam masa jabatannya, ia diharapkan mampu menyelesaikan sejumlah prioritas strategis sebelum estafet kepemimpinan dialihkan. Wacana pergantian saat ini belum mencerminkan urgensi mendesak. Sebab, mengganti pemimpin yang baru saja dilibatkan langsung dalam isu fundamental seperti pangan terasa prematur. Apalagi ketahanan pangan bukan proyek instan: ia adalah proses jangka panjang, dari analogi musim tanam hingga distribusi logistik yang kompleks. Mengharapkan Polri menjadi ujung tombak pangan justru mengaburkan peran utama para aktor sektor ini: petani, penyuluh, Bulog, Kementan, hingga pedagang pasar.

Survei LSI 2024 mencatat bahwa 67 % publik mendukung figur Kapolri atas dasar kinerja, bukan hanya senioritas. Ini menjadi sinyal bahwa Polri dituntut menjaga kesinambungan program, bukan hanya mengganti nama di pucuk pimpinan. Polri Presisi, dengan semangat prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan, harus terus dijaga agar tidak menjadi jargon sesaat. Di ranah operasional, layanan 110 dan kanal pelaporan real-time di media sosial membuktikan efektivitasnya. Operasi Sikat Jaya menindak lebih dari 10.000 preman dalam 25 hari, membuat negara terasa hadir. Survei Indikator Mei 2025 bahkan mencatat kepuasan publik terhadap Polri mencapai 67,4 %. Namun, capaian episodik ini hanya berarti jika dikawal oleh sistem keberlanjutan.

Maka, keberhasilan tak boleh berhenti sebagai angka di laporan. Polri harus menghadirkan dashboard publik agar masyarakat dapat memantau perkembangan kasus secara real time, termasuk transparansi anggaran dan progres penanganan perkara. Calon Kapolri ke depan harus menjadikan keterbukaan ini sebagai prinsip kerja, bukan ancaman institusi. Keberlanjutan Polri Presisi tidak cukup dalam satu periode, karena ia memerlukan struktur internal yang tahan uji dan berakar hingga ke level Polsek dan Babinkamtibmas—bukan sekadar bergantung pada karisma pucuk pimpinan.

Keterlibatan Polri dalam ketahanan pangan juga harus ditempatkan secara proporsional. Panen raya, ekspor 3.200 ton jagung, hingga pembangunan 18 gudang penyimpanan menunjukkan sinergi yang patut diapresiasi. Namun demikian, tugas Polri tetap sebagai pengawal keamanan distribusi, bukan perancang teknis sektor pertanian. Tanpa batas yang jelas, peran strategis itu rawan tumpang tindih dengan lembaga sektoral seperti Kementan, Bulog, dan Otoritas Pangan. Perlu ada manajemen berbasis data yang melibatkan masyarakat petani agar kepercayaan terhadap Polri tetap terjaga.

Dalam ranah penegakan hukum, Perpres No. 54/2024 yang memberi mandat kepada TNI/Polri untuk melindungi jaksa dari intimidasi saat menangani kasus besar, memerlukan pengawasan ketat. Tujuannya memang memuliakan hukum, tetapi jangan sampai menimbulkan intervensi institusional. Calon Kapolri harus membangun mekanisme pelaporan publik dan memperkuat kerja sama dengan lembaga seperti Komisi Pengawasan Penyidikan agar fungsi pengamanan tidak berubah menjadi tekanan.

Revisi KUHAP dengan asas Dominus Litis juga menjadi perdebatan penting. Bila Kejaksaan memegang dominasi penuntutan, maka Polri harus memperkuat fungsi penyidikan berbasis akuntabilitas. Kolaborasi melalui sistem Track Perkara yang bisa diakses publik adalah kebutuhan mendesak: dari laporan masuk hingga putusan akhir, setiap tahap harus dapat dilacak demi mencegah kriminalisasi ataupun transaksi perkara.

Sementara itu, peran sosial Polri juga makin luas: mulai dari kampanye vaksinasi gratis, perlindungan subsidi listrik bagi 450 VA dan 900 VA, hingga pengamanan distribusi bahan pokok. Namun setiap inisiatif sosial ini harus dibarengi audit dan verifikasi yang ketat. Calon Kapolri wajib membentuk unit evaluasi internal agar program kerakyatan benar-benar menjangkau yang berhak, bukan menjadi ruang abu-abu distribusi bantuan.

Pergantian Kapolri adalah ujian integritas sistemik: apakah Polri cukup dewasa melanjutkan transformasi, atau kembali ke pola elitis yang bergantung pada figur. Kepercayaan Presiden kepada Jenderal Sigit Prabowo adalah peluang bagi stabilitas, tetapi tidak boleh membuat publik lengah terhadap pentingnya tata kelola jangka panjang. Institusi modern tidak boleh ditentukan oleh individu semata, tetapi oleh kekuatan sistem dan partisipasi rakyat.

Pada akhirnya, Polri berada di simpang jalan reformasi: menjaga keberlanjutan visi tanpa kehilangan akar kepercayaan publik. Di tengah gempuran tuntutan, dari ketahanan nasional hingga reformasi hukum, masyarakat tidak lagi puas dengan angka-angka atau jargon Presisi semata. Yang ditunggu adalah bukti keberlanjutan: laporan terbuka, keterlibatan rakyat, dan kebijakan yang bisa diuji bersama. Jika hal ini dilakukan, Polri bukan hanya bertahan di tengah gejolak zaman, tapi tumbuh sebagai institusi kepercayaan jangka panjang. Dan di situlah, ujian sejati Kapolri baru akan dimulai.

 

 

Romadhon Jasn Ketua Jaringan Aktivis Nusantara (JAN)

 

*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News (SNN)

Tags:Di Persimpangan KepercayaanKetua JANpolriRomadhonsudut opini