Refleksi; Hari kebangkitan Nasional, Sebagai Spirit Gerakan Mahasiswa Menuju Indonesia Emas

Hilal Hidayat Sekretaris Umum HMPH Universitas Wiraraja Periode 2025-2026 (Dok. Pribadi)

Sudut Opini – 20 Mei 1908 adalah tanda dimulainya era kebangkitan nasional dengan lahirnya budi utomo sebagai organisasi perjuangan yang bersifat nasional bukan kedaerahan. Nilai nasionalisme terpupuk dibabak sejarah ini, dimana rasa kesatuan tumpah darah bangsa dan bahasa menjadi nyala api untuk bersatu padu meraih kemerdekaan. 

Lahirnya budi utomo memulai transisi gaya baru perjuangan kemerdekaan yang bersifat kedaerahan non keperatif menjadi gerakan perjuangan yang bersifat nasional koperatif. Berdirinya budi utomo menjadi buah inspirasi berdirinya organisasi lain seperti syarikat islam, perhimpunan indonesia, muhammadiyah dan partai Nasional Indonesia.

Read More

Nyala api perjuangan kemerdekaan masih tetap menyala hingga hari ini, tak jauh berbeda dengan zaman pra kemerdekaan bahwa perjuangan menegakkan kebenaran diisi oleh para pemuda yang berintelektual. Dalam implementasi gerakan perubahan tidak cukup bermodalkan tekad dan mobilisasi massa, akan tetapi kecakapan kecerdasan dan kecermatan analisa dalam merumuskan gagasan revolusi Perang perjuangan di masa ini jauh lebih berat ketimbang zaman perjuangan kemerdekan.

Jika di era pra kemerdekaan melawan para penjajah tapi di masa ini perjuangan mengentaskan kemiskinan kesetaraan dan memberantas kesewenang-wenangan nyatanya jauh lebih berat. Api tekad yang semakin redup harus segera dihidupkan kembali lewat aksi aksi pengawalan terhadap segala bentuk penindasan. 

Pasca gerakan 1908 muncul gerakan di berbagai daerah dengan membawa semangat nasionalisme dan cita cita perjuangan kemerdekaan, dan puncaknya adalah dengan terselenggaranyaa kongres pemuda I dan kongres pemuda II yang menghasilkan 3 sumpah pemuda sebagai komitmen persatuan bangsa. Di awal tahun 1945 gerakan mahasiswa dan pemuda juga memiliki peran vital dalam mendesak soekarno-hatta memproklamirkan kemerdekaan dengan munculnya tokoh seperti wikana dan darwis mengamankan bung karno dan hatta di rengasdeklok agar terhindar dari pengaruh jepang dan segera memproklamirkan kemerdekaan indonesia secepat-cepatnya. 

Di era pasca kemerdekaan (1966) tantangan gerakan mahasiswa adalah adanya polarisasi politik dengan pengaruh paham komunisme yang kian mondominasi dan titik puncaknya adalah dengan terjadinya peristiwa G 30 S PKI. Mahasiswa di momen ini membentuk KAMI (kesatuan aksi mahasiswa indonesia) dengan mengeluarkan TRITURA (tiga tuntutan rakyat) yang salah satau pointnya adalah bubarkan PKI. Dalam perjuangan menumpas pki mahasiswa bekerjasama dengan pihak miiter agar tidak terjadi kudeta yang bisa menggangu kedaulatan NKRI. Selesai dengan perjuangan menumpas pemberontakan PKI mahasiswa di era 1974 mengalami tantangan baru dengan orde baru yang didukung pihak militer. Jika di era 1966 hubungan mahasiswa dan militer bersifat kordinatif pada era ini hubungannya bersifat konfrontatif. Mahasiswa memandang bahwa pihak militer telah terlampau jauh melangkah dari fungsi utamanya bahkan menjadi alat penindasan rakyat. 

Di periode ke-3 Soeharto gerakan mahasiswa kian dibatasi dengan mengeluarkan kebijakan BKK berdasarkan SK mentri P&K no.037/U/1979 yang mengintruksikan bahwa mahasiswa harus difokuskan terhadap kegiatan akademik dan melarang keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas politik. 

Kebijakan ini adalah bentuk respon ketakutan pemerintah terhadap suara-suara mahasiswa yang kian melontarkan kritik terhadap pemerintah yang berusaha mempertahankan status quo kekuasannya. Akan tetapi fase ini tidak berlangsung lama dengan meletusnya gerakan mahasiswa 98 yang menutut soeharto segera lengser dari jabatan. Gerakan 98 membuka babak baru sejarah indonesia dengan lahirnya era revolusi yang memberikan jaminan kebebasan yang selama ini terbatas dalam pengawasan rezim soeharto. 

Sejarah selalu berputar dengan kejadian yang sama namun waktu dan tokoh yang berbeda, perjuangan mencapai kemerdekan kaffah tidak pernah usai dalam proklamasi kemerdekaan. Semangat mahasiswa membawa perubahan tidak terhenti pada era 1908 tapi dia tetap mengalir melampu masa dan gelombang tantangan yang silih berganti tiada henti.

Hari kebangkitan nasional bukan hanya sebagai emberio kesadaran perjuangan akan tetapi sebagai pemupuk rasa persatuan. Gagasan perubahan tidak pernah berubah hanya saja strategi dan taktik perjuangan mengalir mengikuti arus zaman. Dalam dekade ini gerakan mahasiswa kian mengalami degradasi, dimana gerakan hambar tanpa subtansi yang dikejar hanya persoalan materi. Lunturnva semangat patriotisme kian diperparah dengan minimnya minat mahasiswa pada literasi. Mahasiswa yang selalu kritis dengan ribuan gagasan kini tak lebih hanya sekedar kawanan domba yang mudah di dikte dengan narasi murahan. 

Momen hari kebangkitan nasional adalah momen tepat berefleksi menapaki sprit perjuangan yang dibekali oleh kualitas intelektual yang disokong tekad perjuangan membawa perubahan. Era digital harus bisa dimamfaatkan oleh mahasiswa sebagai ruang belajar dan ruang penyampai suara-suara kebenaran. 

Di era yang serba digital strategi perjuangan harus pula mengikuti perkembangan zaman, dengan membuka kesadaran publik dan kritikan pada kebijakan melalui semua media sosial yang tentunya harus berlandaskan dalil akademis. Media sosial bisa dimamfaatkan oleh mahasiswa sebagai ruang edukasi pemberdayaan terhadap anak yang tidak bisa mengakses pendidikan karna masalah finansial. Pendidikan politik pun bisa dilaksanakan dengan memamfaatkan media sosial sebagai akses pemahaman pada masyarakat awam yang buta politik. Semangat hari kebangkitan nasional harus membawa kembali pada arus tradisi intelektual yang memadai sebagai bekal perjuangan. Dalam melakukan perubahan semuaa aspek kehidupan tidak cukup hanya bermodalkan kualitas individual melainkan adanya gerakan kolektif yang seling bersinergi belandaskan kajian kajian akademis.

Tugas mahasiswa hari ini sebagai pewaris estafet semangat kebangkitan nasional adalah memperbaiki culture dunia kampus yang sarat dengan budaya hedonisme.yang individuaistik. Kampus hari ini bukan dipandang sebagai pencetak kaum intelektual melainkan hanya dipandang sebagai pencetak sarjana pemburu jiazah.  

Bukan hanya perbaikan edukasi secara intelektual yang harus digalakkan tapi, edukasi secara moral dan spiritual harus pula diperhatikan. Untuk melakükan perubahan dalam semua aspek kehidupan harus bermodalkan 3 hal yaitu modal intelektual modal spiritual dan modal sosial. Modal intelektual berfungsi sebagai instrumen pengarah ketepatan gagasan,modal spiritual berfungsi sebagai penjaga ketulusan perjuangan sedangkan modal sosial sebagai finishing ahir marketing gagasan perubahan dengan adanya gerakan secara kolektif penuh kesadaran.

 

Hilal Hidayat Sekretaris Umum HMPH Universitas Wiraraja Periode 2025-2026

 

*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News (SNN)

Related posts