Perkembangan zaman yang kian hari semakin maju menuntut kita untuk terus bergerak maju agar bisa beradaptasi secara baik. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan yang cukup lama oleh karenanya juga harus mampu membenahi diri baik secara internal maupun eksternal.
Ketika kita mengamati secara objektif realitas kondisi HMI saat ini telah mengalami disorentasi dan terjadi dekadensi yang cukup memperihatinkan. Hal ini terdeteksi dengan dilema intelektualitas yang kemudian melenceng dari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan organisasi, efeknya banyak kader potensial yang terjebak dan larut di dalam dinamika kekuasaan. Hal ini dikarenakan sistem pengkaderan yang belum mampu membentuk kader yang murni secara ideologis.
Harus disadari bahwa tidak semua materi dan bentuk kaderisasi dapat menghasilkan kader yang ideologis dan militan. Terkadang justru yang terbentuk adalah kader yang sekedar tahu tentang wacana dan istilah namun apa-apa yang diperolehnya tidak mengubah sedikitpun paradigmanya.
Berbeda dengan kader yang ideologis mereka mampu mengaitkan antara teks dengan subjek di mana relasi yang terjadi adalah dialog antar subjek. Seluruh nilai yang disampaikan, meski terbuka dan argumentatif, tetap “mengarahkan” pada suatu paradigma kolektif organisasi. Pemateri tidak hanya menyampaikan materi, melainkan lebih jauh lagi, dia harus bisa mengubah pola pikir lama setiap peserta.
Terdapat beberapa konsekuensi internal dan logis dari metodelogi pengkaderan yang sekedar mengejar kuantitas semata yang Pertama, setiap kader mempunyai pikiran-pikiran parsial yang lepas dari sistem secara keseluruhan, tidak ada kesamaan langkah, semua memburu posisi politis, yang Kedua, setiap kader, karena paradigma pragmatis tadi, cenderung malas membangun institusi ideologis. Mereka memang nanti besar sendiri dan berjaya. Tapi karena tidak mempunyai struktur ideologi yang kokoh, dia pun akan miskin dan mati sendiri karena pada titik tertentu tidak akan bisa mengatasnamakan organisasi lagi dan yang terlahir lembaga berubah fungsi, dari lembaga perkaderan ke lembaga kekaryaan, tidak punya idealisme, kosong teologi. Ideologi hanya jadi artefak yang dikicaukan setiap pengkaderan baku-formalistis.
Sedangkan konsekuensi eksternal dari kondisi ini, adalah; Kader yang sudah tidak punya kemampuan memahami dan mensinkronisasi pikiran-sikap-tindakannya sebagai bagian tak terpisahkan dari lembaganya mustahil mampu melihat, membaca, mengerti, merespon, bertindak atas segala persoalan eksternalnya: kebangsaan dan kemanusiaan global. Mereka tumbuh sebagai cendekiawan elite yang sibuk mengkalkulasi penderitaan rakyat dari menara pinang. Selanjutnya lembaga yang sudah mandul, tidak bisa berproduksi, berubah bentuk sebagai kumpulan aktivis harakah sempalan, perusahaan, dan wastafel pencuci muka di hadapan penguasa yang “kebetulan” seniornya sendiri.
Perkaderan HMI Harus Menjadi “HMI; Sekolah Dunia Akhirat”.
Bagian pertama, Urgensi Pengkaderan HΜΙ yang memuat tentang kuatnya HMI karena sistem kaderisasinya, menilik sedikit tentang sejarah pengkaderan lalu mencoba telusuri tentang roadmap dan orientasi pengkaderan HMI.
Bagian kedua, akan membahas tentang jenjang pengkaderan lalu berbagai jenis dan model pengkaderan, baik formal-nonformal maupun informal yang terjadi di sistem pengkaderan organisasi HMI.
Bagian ketiga, saya ingin menyandingkan beberapa model pengkaderan pada organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, juga organisasi bisnis/profit, organisasi kemasyarakatan, pemerintahan dan bentuk komunitas lainnya. Hal ini supaya sistem pengkaderan HΜΙ mendapatkan perbandingan, sekiranya HMI tidak monoton dengan pola yang ada sementara dinamika perubahan diluar bergerak lebih cepat. Supaya HMI tidak ketinggalan, harusnya ada upaya adopsi inovasi dalam sistem dan mekanisme pengkaderan HMI karena itu cara untuk tetap mempertahankan eksistensi HMI yang brandingnya sebagai organisasi kader.
Pada bagian keempat, akan dipaparkan redesain sistem pengkaderan HMI yang menurut saya tidak hanya dimulai sejak seorang calon mahasiswa direkrut menjadi calon kader lalu selesai setelah statusnya dinyatakan sebagai alumni. Pengkaderan itu harus sistemik mengikuti perputaran roda kehidupan anak manusia tapi tetap ada dalam lingkaran komunitas eksklusif.
Setelah mengkomparasikan model dari berbagai sistem pengkaderan dan diperoleh pilihan model yang ideal sesuai visi HMI ‘keislaman-keindonesiaan-kemahasiswaan; Iman-Ilmu-Amal’ maka kita boleh memproyeksikan manfaat dan dampak dari sistem pengkaderan dimaksud kedalam berbagai aktifitas sosial kemasyarakatan dan dunia kerja.
Pada bagian akhir, Bagian kelima, saya ingin pertegas tentang Orbitase Pengkaderan HMI-KAHMI sebagai Sekolah dunia-akhirat. Artinya; dan sasaran pengkaderan harus memiliki target utama dan target sampingan. KAHMI harus menjadi medium untuk pintu masuk reorbitase calon kader HMI, setiap alumni harus mewakafkan anak-keturunannya untuk menjadi target utama lalu memastikan sistem sosial lain disekitarnya menjadi target sampingan dalam bentukan komunal. Demikian pula, setelah tuntas dalam jenjang karier di HMI maka urusan kaderisasi di HMI harus dilanjutkan ke wadah KAHMI agar visi ‘Iman-Ilmu-Amal; Yakin-Usaha-Sampai’ tidak putus.
Muhibuna M. Said
Bendahara Umum BPL HMI Cabang Kupang
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News