Sudut Opini – Kepemimpinan dalam organisasi merupakan aspek sentral yang menentukan arah, efektivitas, dan keberlanjutan sebuah sistem kolektif. Dalam konteks ini, pernyataan “tim tanpa ketua, ketua tanpa tim” mencerminkan realitas krisis struktural dan fungsional yang kerap terjadi dalam organisasi, baik formal maupun nonformal. Menggunakan pendekatan teori kritis, khususnya pemikiran Jurgen Habermas dan perspektif emansipatoris organisasi, kita dapat membedah bagaimana relasi timpang antara ketua dan tim merupakan bentuk dari distorsi komunikasi dan ketimpangan struktur yang perlu dikoreksi secara sadar dan sistemik.
Teori kritis tidak hanya berfokus pada bagaimana sistem bekerja, tetapi juga bagaimana sistem tersebut seringkali mereproduksi relasi kuasa yang tidak adil, melemahkan partisipasi, dan menciptakan ketergantungan. Dalam organisasi, ketika tim berjalan tanpa ketua yang aktif, maka arah gerak akan menjadi kabur, koordinasi melemah, dan muncul kekosongan kepemimpinan. Namun sebaliknya, seorang ketua yang berjalan tanpa tim dalam hal ini berarti tanpa dukungan, inisiatif, dan peran aktif dari pengurus maupun anggota mengalami alienasi peran, di mana kepemimpinan menjadi simbolik belaka tanpa kekuatan operasional.
Perlu adanya hubungan peran dua arah yang menegasikan kepemimpinan satu arah, seperti apa yang telah dijelaskan oleh Henry Mintzberg (2009), organisasi adalah sistem dinamis yang terdiri dari berbagai peran yang saling berinteraksi. Peran ketua akan menjadi efektif apabila terdapat tim yang reaponsif, kooperatif dan memiliki inisiatif. Dalam hal ini, absennya keterlibatan aktif dari anggota atau pengurus akan menjadikan kepemimpinan tidak lebih dari simbol formalitas tanpa subtansi.
Menurut Habermas (1984) dalam teori tindakan komunikatif, sistem organisasi seharusnya dibangun berdasarkan konsensus, bukan dominasi. Komunikasi yang bebas dari distorsi dan hubungan kuasa yang timpang menjadi dasar terciptanya organisasi yang sehat. Namun, dalam banyak organisasi, relasi antara ketua dan tim seringkali terjebak pada pola hierarkis yang menempatkan ketua sebagai pusat perintah dan anggota sebagai eksekutor pasif. Pola ini bukan hanya menumpulkan kreativitas tim, tetapi juga membebani pemimpin secara tidak adil. Inilah bentuk krisis kepemimpinan yang tidak hanya bersifat personal, tetapi struktural.
Lebih jauh, krisis semacam ini juga berkaitan dengan kurangnya kesadaran kritis dari kedua belah pihak. Ketua yang tidak membangun kultur partisipatif akan gagal mengembangkan kepemimpinan transformatif. Sebaliknya, tim yang hanya menunggu instruksi mencerminkan bentuk ketergantungan struktural yang tidak produktif. Organisasi menjadi stagnan karena tidak ada distribusi kepemimpinan (distributed leadership), yang seharusnya menjadi ciri organisasi modern dan progresif.
Dalam konteks ini, solusi tidak cukup hanya dengan memperbaiki sistem manajerial, melainkan menumbuhkan kesadaran kritis kolektif. Setiap aktor dalam organisasi perlu merefleksikan perannya: ketua sebagai fasilitator dialog dan penggerak semangat tim, dan anggota sebagai subjek aktif yang ikut membentuk arah organisasi. Kepemimpinan bukan sekadar soal jabatan, tetapi proses relasional yang dibangun atas dasar kepercayaan, tanggung jawab bersama, dan kesetaraan partisipasi.
Dengan demikian, krisis kepemimpinan dalam organisasi tidak hanya mencerminkan lemahnya individu, tetapi juga lemahnya struktur komunikasi dan budaya kolektif. Teori kritis menawarkan lensa untuk membongkar masalah ini dan membangun organisasi yang lebih partisipatif, setara, dan berkelanjutan.
Ilham Layli Mursidi Ketua Umum HMI Cabang Banyuwangi
*) Konten di Sudut Opini merupakan tulisan opini pengirim yang dimuat oleh Redaksi Sudut Nusantara News